CANTIKA.COM, Jakarta - Dunia sastra tidak hanya dipenuhi oleh karya-karya sastrawan pria, perempuan juga turut mewarnai dan berkontribusi mereka baik prosa maupun puisi. Cantika merangkum sederet nama-nama beken sastrawan perempuan Indonesia yang kehadiran karya dinantikan oleh para pembacanya.
Daftar Sastrawan Perempuan Indonesia
1. NH Dini
NH Dini alias Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. TEMPO/Ijar Karim
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”.
Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Namun, setelah mengetahui penulisnya anak-anak, Belanda mengalah. Pada tahun 1960 Dini menikah dengan seorang diplomat Prancis yang bernama Yves Coffin. Ia mengikuti tugas suaminya di Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat. Karena bersuamikan orang Prancis, Dini beralih warga negaranya menjadi warga negara Prancis.
Dari perkawinannya itu, Dini mempunyai dua orang anak, yaitu Marie Claire Lintang dan Louis Padang. Terhadap kedua anaknya itu, Dini memeberi kebebasan budaya yang akan dianut dan bahasa yang akan dipelajari. Untuk mengajarkan budaya Indonesia, Dini menyuruh anaknya mendengarkan musik Indonesia, terutama gamelan Jawa, Bali, dan Sunda serta melatihnya menari.
Pada tahun 1984 Dini bercerai dengan suaminya. Pada tahun 1985 kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Ia memutuskan kembali ke kampung halamannya dan melanjutkan menulis serta mendirikan taman bacaan anak-anak yang bernama Pondok Baca. N.H. Dini tinggal di Perumahan Beringin Indah, Jalan Angsana No. 9, Blok A-V Ngalian, Semarang 50159, Jawa Tengah. Pengalaman menjadi istri diplomat memperkaya pengetahuannya sehingga banyak memengaruhi karyanya, seperti karyanya yang berlatar kehidupan Jepang, Eropa, dan Amerika.
Dini bercita-cita menjadi dokter hewan. Namun, ia tidak dapat mewujudkan cita-cita itu karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Ia hanya dapat mencapai pendidikannya sampai sekolah menengah atas jurusan sastra. Ia mengikuti kursus B1 jurusan sejarah (1957). Di samping itu, ia menambah pengetahuan bidang lain, yaitu menari Jawa dan memainkan gamelan.
Meskipun demikian, ia lebih berkonsentrasi pada kegiatan menulis. Hasil karyanya yang berupa puisi dan cerpen dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta (1952), majalah Mimbar Indonesia, dan lembar kebudayaan Siasat. Pada tahun 1955 ia memenangkan sayembara penulisan naskah sandiwara radio dalam Festival Sandiwara Radio di seluruh Jawa Tengah. Kegiatan lain yang dilakukannya ialah mendirikan perkumpulan seni Kuncup Mekar bersama kakaknya.Kegiatannya ialah karawitan dan sandiwara. Nh. Dini juga bekerja, yaitu di RRI Semarang, tetapi tidak lama. Kemudian, ia bekerja di Jakarta sebagai pramugari GIA (1957—1960).
Karyanya mulai dari Puisi 1. “Februari” (1956) 2. “Pesan Ibu” (1956) 3. “Kapal di Pelabuhan Semarang” (1956) 4. “Kematian” (1968) 5. “Berdua” (1958) 6. “Surat Kepada Kawan” (1964) 7. “Bertemu Kembali” (1964), Novel 1. Dua Dunia (1956) 2. Hati yang Damai (1961) 3. Pada Sebuah Kapal (1972) 4. La Barka (1975) 5. Namaku Hiroko (1977) 6. Keberangkatan (1977) 7. Sebuah Lorong di Kotaku (1978) 8. Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979) 9. Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979) 10. Sekayu (1981) 11. Kuncup Berseri (1982) 12. Orang-Orang Trans (1985) 13. Pertemuan Dua hati (1986) 14. Jalan Bandungan (1989) 15. Tirai Menurun (1993) 16. Kemayoran (2000)
Karya lain Pangeran dari Negeri Seberang (Biografi penyair Amir Hamzah) (1981) 2. Dongeng dari Galia Jilid I dan II (cerita rakyat Prancis) (1981) 3. Peri Polybotte (cerita rakyat Prancis) (1983) 4. Sampar (novel terjemahan dari La Peste karya Albert Camus) (1985) Penghargaan yang telah diperolehnya ialah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio Frence Internasionale (1987).
2. Leila S Chudori
Leila Chudori meluncurkan novel terbarunya, Laut Bercerita, di Ubud Writers & Readers Festival, Jumat, 27 Oktober 2017. TEMPO/Reza Maulana
Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kels V SD, ia telah memublikasikan karyanya di majalah. Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973). Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya.
Cerpen yang lahir kemudian dimuat di majalah-majalah remaja saat itu, seperti majalah Kawanku, Hai, dan Gadis. Cukup banyak cerpennya yang dimuat dan nama Leila S. Chudori menjadi sangat akrab bagi pembacanya. Selain cerpen, ia juga menulis cerita bersambung (cerber). Pada saat masih remaja, Leila sudah menghasilkan beberapa buku kumpulan cerpen, seperti Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra.
Setelah kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra. Cerpen-cerpennya yang berserakan di berbagai media itu kemudian diterbitkannya dalam sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul Malam Terakhir. Buku kumpulan cerpen itu diterbitkan oleh Pustaka Grafiti (1989) dan dua puluh tahun kemudian (2009) diterbitkan kembali oleh penerbit Gramedia.
Kumpulan cerpen Malam Terakhir berisi sembilan buah cerpen, yang masing-masing berjudul, “Paris”, “Adila”, “Air Suci Sita", “Sehelai Pakaian Hitam”, “Untuk Bapak”, “Keats”, “Ilona”, “Sepasang Maya Menatap Rain”, dan “Malam Terakhir. Menurut H.B. Jassin, buku Malam Terakhir itu banyak memuat idiom dan metafor baru, di samping pandangan falsafi yang baru, karena cara pengungkapannya yang baru. Sekalipun bermain dalam khayalan, lukisan-lukisannya sangat kasat mata. Buku Malam Terakhir juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul Die Letzte Nacht oleh Horlemman Verlag.
Selain di majalah dan surat kabar, tulisan Leila juga dimuat di jurnal sastra, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti dalam jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Cerpen Leila juga dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S, Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing” dalam jurnal sastra Tenggara. Namanya juga tercantum dalam kamus sastra Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan oleh Editions des Femmes, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus itu berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dalam dunia seni.
Leila S. Chudori atau lengkapnya Leila Salikha Chudori, lahir di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1962. Leila adalah putri dari Mohammad Chudori, seorang wartawan Kantor Berita Antara dan surat kabar The Jakarta Post. Leila sangat mengagumi ayahnya. Banyak kata-kata atau pesan ayahnya yang dijadikannya sebagai pedoman atau pegangan hidupnya, seperti pesan ayahnya yang mengatakan bahwa ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita. Oleh karena itu, betapa pun gundah-gulananya ia melihat kondisi tanah airnya, ia tetap mencintainya dan berapa jauh pun ia pergi, ia tetap pulang ke negerinya.
Tahun 1982 Leila mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific ( United World Colleges) di Victoria, Kanada. Lalu, ia melanjutkannya dengan studi Political Science dan Comparative Development Studies di Universitas Trent, di kota yang sama, Kanada. Enam tahun berada di luar negeri yang relatih lebih nyaman, akhirnya, Leila memilih pulang ke tanah airnya.
Sepulang dari Kanada, Leila bekerja sebagai wartawan di majalah Tempo (1989). Ia menulis berita, melakukan wawancara, dan juga menulis resensi. Pada saat menjadi wartawan itu, Leila mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dalam hidupnya. Ia berkesempatan bertemu dan mewawancarai tokoh-tokoh terkenal, seperti H.B. jassin, Paul wolfowitz, Bill Morison, Corry Aquino, Yasser Arafat, Nelson Mandela, dan Robert Mugabe. Ia juga menjadi salah seorang dari sebelas wanita Indonesia yang mendapat kesempatan makan siang bersama Lady Diana.
Pekerjaan sebagai wartawan itu ternyata benar-benar sangat menyita waktu dan membuat Leila kelelahan sehingga ia tidak mempunyai waktu lagi untuk menulis fiksi. Oleh karena itu, dalam kurun waktu yang cukup panjang, dua puluh tahun (1989-2009), Leila tidak menghasilkan tulisan yang berupa fiksi. Ia hanya sibuk menulis berita dan resensi untuk majalahnya.
Baru pada tahun 2009 Leila meluncurkan buku kumpulan cerpennya yang terbaru yang berjudul 9 dari Nadira. Ia mendapat kekuatan kembali menulis berkat dorongan anak semata wayangnya dan teman-temannya. Buku itu berisi Sembilan buah cerpen, yang masing-masing berjudul, “Mencari Seikat Seruni”, “Nina dan Nadira”, “Melukis Langit”, “Tasbih”, “Ciuman Terpanjang”, “Kirana”, “Sebilah Pisau”, “Utara Bayu”, dan “At Padder Bay”.
Banyak pengamat dan kritikus sastra yang menganggap buku 9 dari Nadira itu sebagai novel. Dianggap novel karena ada benang merah yang menyatukan dari mulai cerita kesatu sampai cerita kesembilan, yaitu tokoh utamanya, Nadira. Nadira diceritakan dari saat masih kanak-kanak, bekerja sebagai wartawan, menikah, sampai punya anak. Jadi, kesembilan cerita yang terdapat dalam buku itu semua bercerita tentang tokoh utama yang bernama Nadira.
Tiga tahun setelah peluncuran 9 dari Nadira, Leila kembali meluncurkan karya fiksi terbarunya. Satu novel yang berjudul Pulang (Gramedia, 2012). Novel Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia, 30 September 1965; Prancis, Mei 1968; dan Indonesia, Mei 1998.
Novel Pulang ditulis oleh Leila mulai tahun 2006 dan selesai tahun 2012, diselingi oleh tugas sehari-hari sebagai orang tua Rain Chudori, sebagai wartawan Tempo, dan di antara tahun itu menerbitkan kumpulan cerpen 9 dari Nadira. Untuk ukuran sebuah novel, novel itu cukup tebal, 449 halaman, yang diawali oleh epilog, lalu diisi dengan tiga bagian cerita “Dimas Suryo”, “Lintang Utara”, dan “Segara Alam”, serta diakhiri dengan epilog.
Novel Pulang dinilai oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai sebuah novel yang mengguanakan teknik yang di dalam film disebut seamless realism. Artinya, saat membaca (novelnya) terasa tidak sedang membaca novel, tetapi sedang berada di dalam situasi yang digambarkan novel tersebut.
Dalam tulisan-tulisannya, Leila S Chudori bercerita tentang kejujuran, keyakinan dan tekad, serta prinsip dan pengorbanan. Gaya berceritanya intelektual sekaligus puitis. Tulisan Leila sedikit-banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis kelas dunia yang karyanya telah dibaca oleh Leila, seperti Franz Kafka (Jerman), Dostoyevski (Rusia), D.H. Lawrence (Inggris) dan James Joyce (Irlandia). Akan tetapi, ia juga tidak asing dengan cerita Baratayuda dan Ramayana (dari dunia pewayangan).
Menurut Leila, salah satu hal yang penting dalam menulis fiksi adalah kemampuan penulis menaklukkan bahasa. Bahasa adalah salah satu alat yang mengantar pembaca memasuki dunia alternatif yang diciptakan oleh pengarang. Oleh karena itu, ide sedahsyat apa pun jika disampaikan dengan buruk atau dengan datar karya itu tidak akan bercahaya. Sebaliknya, sebuah ide yang sederhana akan meledak jika disampaikan dengan tepat, baik, dan cerdas.
Selain menulis cerpen dan novel, Leila juga menulis skenario. Ia menulis, antara lain, skenario drama televisi “Dunia Tanpa Koma” (2006), skenario film pendek “Drupadi” (sebuah tafsir dari kisah Mahabrata, 2008), dan skenario film “Kata Maaf Terakhir” (2009).
Drama televisi “Dunia Tanpa Koma” (14 episode) itu diproduseri oleh Leo Sutanto (sinemaArt), dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro serta ditayangkan di RCTI tahun 2006. Drama televisi itu mendapat penghargaan Sinetron Terpuji dan Leila mendapat penghargaan sebagai Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada Festival Film Bandung, 2007.
Film “Drupadi” adalah film drama musikal pendek (40 menit) yang mengangkat kisah Drupadi dengan seting Jawa klasik. Film itu diproduseri oleh Mira Lesmana, disutradarai oleh Riri Riza, serta dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo (sebagai Drupadi) dan Nicholas Saputra (sebagai Arjuna). Film itu tidak hanya bercerita tentang Drupadi, tetapi juga sebuah kiasan tentang dunia modern, sebuah simbol saat seorang wanita memperjuangkan sebuah dunia yang didukung oleh keadilan dan persamaan hak.
Film “Kata Maaf Terakhir” diproduseri oleh Leo Sutanto, disutradarai oleh Maruli Ara, serta dibintangi oleh Tio Pakusadewo dan Maia Estianty, Ade Surya Akbar, Rachel Amanda, dan Kinaryosih. Film itu bercerita tentang Darma (Tio Pakusadewo) yang menghadapi bulan terakhir kehidupannya. Ia berusaha mendapatkan maaf dari mantan istrinya, Dania (Maia Estianty), serta kedua anaknya, Reza (Ade Surya Akbar) dan Lara (Rachel Amanda), yang dulu ditinggalkannya karena ia telah menghamili Alina (Kinaryosih), sahabat Dania.
Selain telah melakukan banyak kegiatan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Leila juga pernah mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu, antara lain, menjadi juri pada Festival Film Asia Pasifik (Jakarta, 2002), juri pada Festival Film Independen Indonesia (SCTV, 2010—2011), dan juri Indonesian Movie Awards (RCTI), serta menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, priode 1993—1996.
3. Ratih Kumala
Penulis buku Gadis Kretek, Ratih Kumala memegang buku saat hadir dalam diskusi Biennale Jatim di Rumah Budaya, Sidoarjo, pada Sabtu 16 Desember 2023. TEMPO/ Yolanda Agne
Ratih Kumala merupakan penulis Indonesia yang lahir pada 1980. Ia sudah menjadikan menulis sebagai pilihan hidupnya. Ia telah menulis untuk enam buku fiksi (novel maupun koleksi fiksi), tiga film layar lebar, dan ratusan judul drama televisi di berbagai genre. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Inggris, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah. Berkaca dari latar belakang pendidikannya, selain bahasa Indonesia, ia juga ahli menggunakan bahasa Inggris.
Berdasarkan profil LinkedIn-nya bernama Ratih Kumala, Ratih pertama kali berkarier sebagai Koordinator Editor Naskah di Trans TV. Ia bekerja selama 7 tahun dari 2008 sampai 2015. Satu tahun kemudian, ia bekerja di sebuah rumah produksi film Indonesia, Limelight Pictures. Ia bekerja sejak 2016 sampai sekarang, terhitung sudah sekitar 7 tahun 11 bulan.
Selain bekerja di media massa dan dunia film, Ratih pun telah menerbitkan enam buku dan koleksi fiksi. Pada Januari 2004, ia menerbitkan novel Tabula Rasa. Dua tahun kemudian, ia merilis koleksi fiksi Larutan Senja. Kemudian pada Januari 2009, ia meluncurkan novel Kronik Betawi. Setelah itu, pada 2012, ia merilis novel fenomenal Gadis Kretek melalui Gramedia Pustaka Utama. Pada 2015, ia merilis koleksi fiksi berjudul Bastian dan Jamur Ajaib serta Das Zigarettenmädchen (kisah tentang Gadis Kretek dalam bahasa Jerman).
Selama bekerja dan menulis, Ratih berhasil mendapatkan penghargaan. Ia pertama kali meraih penghargaan pada Januari 2003 sebagai pemenang Sayembara Novel, Dewan Kesenian Jakarta melalui novel Tabula Rasa. Lalu, pada Januari 2013, ia masuk dalam 5 besar nominasi prosa Khatulistiwa Literary Award berkat novel Gadis Kretek. Masih pada tahun yang sama, ia meraih penghargaan sebagai Karyawan Terbaik Tahun Ini di Trans TV.
Setelah itu, pada 2015, Ratih kembali masuk dalam 10 besar nominasi prosa teratas Khatulistiwa Literary Award berkat koleksi fiksi Bastian dan Jamur Ajaib. Ia juga meraih penghargaan KPI Award 2015 untuk serial televisi Single and Hopefully Happy. Serial tersebut terdiri dari 12 episode yang tayang di Kompas TV.
Pada 2019, Ratih Kumala menjadi sastrawan perempuan Indonesia yang mengikuti pameran buku internasional London Book Fair (LBF) pada 12-14 Maret 2019 bersama Djenar Maesa Ayu. Karya Ratih yang dipamerkan adalah novel berjudul Potion of Twilight. Karya tersebut sudah diterbitkan di SOAS University of London pada September 2018.
Lalu pada 2023, novel Gadis Kretek Ratih diangkat kembali oleh Kamila Andini dan Ifa Isfansyah sebagai serial yang berhasil ditayangkan di Busan International Film Festival dalam program Renaissance of Indonesian Cinema.
Halaman