Daftar Sastrawan Perempuan Indonesia, dari NH Dini hingga Ayu Utami

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ayu Utami/Foto: Instagram/@bilangan.fu

Ayu Utami/Foto: Instagram/@bilangan.fu

IKLAN

7. Fira Basuki 

Fira Basuki/Foto: Instagram/Fira Basuki

Fira Basuki atau lengkapnya Dwifira Maharani Basuki lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 7 Juni 1972. Fira memulai pendidikan formalnya di kota Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMU Regina Pacis, Bogor (1991), Fira meneruskan studinya ke Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Setelah itu, ia pindah ke Jurusan Communication-Journalism, di Pittsburg State University, Pittsburg-Kansas, USA, dan lulus dengan gelar Bachelor of Arts (1995). Selanjutnya, ia meneruskan studi master di Jurusan Cummunication-Public Relation, Pittsburg State University (1995) dan mengambil lagi studi yang sama di Wichita State University (1996). 

Dalam perjalanan hidupnya, Fira pernah bekerja di majalah Dewi dan menjadi kontributor di beberapa media asing, seperti Sunflower, Collegia, dan Morning Sun (ketiganya di Kansas, USA). Ia juga pernah menjadi pembawa acara  pada CAPS-3 TV, Pittsburg, Kansas dan produser paruh waktu di Radio Singapure Intermational. Saat ini, ia menjadi Pemimpin Redaksi majalah Cosmopolitan dan kontributor eksekutif  di  Harper’s Bazaar, Indonesia.

Sejak kecil Fira sudah yakin kalau dirinya terlahir untuk menjadi penulis. Bakat menulisnya sudah terlihat sejak ia masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Ia sudah mulai membuat puisi dan merangkai kata-kata di buku pelajaran sekolahnya. Karena tidak bisa tidur siang setelah pulang dari sekolah, sementara semua saudara-saudaranya tidur siang, ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis. Ternyata, ia menemukan kesenangan dan ketenteraman.

Ide tulisannya bisa diperolehnya dari mana saja, dari sekelilingnya, dari dalam dirinya, atau dari orang lain, termasuk hal yang remeh temeh.  Bahkan, ia juga pernah mendapat ide untuk judul dan jalan cerita tulisannya dari mimpi. Dalam membuat cerita, Fira selalu memadukan data (yang diperolehnya dari fakta) dengan kekuatan  imajinasi. 

Pada saat duduk di bangku SMA, Fira sudah menjuarai berbagai lomba menulis, baik yang diadakan oleh majalah, seperti Tempo dan Gadis maupun yang diadakan oleh berbagai instansi, seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, LIPI, dan FISIP-UI. Melihat bakat dan kemampuan Fira, kedua orang tuanya pun sepakat memberi dukungan sepenuhnya bagi Fira untuk terjun ke dunia tulis-menulis.

Pada fase selanjutnya, Fira mengembangkan sayapnya, bukan lagi hanya menulis puisi dan cerpen, melainkan juga sudah merambah dunia penulisan novel. Novel perdananya berjudul Jendela-Jendela diterbitkan oleh Grasindo (2001). Novel Jendela-Jendela berkisah tentang pasangan suami-istri muda yang latarnya bergerak di Indonesia, Amerika, dan Singapura. Fira dengan fasih bisa menggambarkan latarnya dengan baik dan menarik karena ia memang punya pengalaman tinggal di ketiga negara tersebut.  

Novel itu juga memberi gambaran yang menarik karena bisa mengubah persepsi orang pada umumnya mengenai kehidupan di negara maju dan kaya. Ternyata, di mana pun, ada saja orang mengalami kesulitan hidup, seperti yang dialami oleh June (istri, Indonesia) dan Jigme (suami June, Tibet) yang berkenalan sewaktu kuliah di Amerika dan memulai kehidupan berumahtangganya di Singapura.    

Novel itu terbit bulan Juli dan sudah mengalami cetak ulang pada bulan Desember dalam tahun yang sama. Sukses dengan novelnya yang pertama, Fira lalu menulis lanjutan cerita Jendela-Jendela dan meluncurkan dua novel berikutnya dalam tahun yang sama,  Pintu (Grasindo, Juli 2002) dan Atap (Grasindo, Desember 2002). Ketiga novel itu merupakan novel trilogi. Sama dengan novel pertamanya, novel kedua dan ketiga Fira itu pun sukses di pasaran terbukti dari cetak ulangnya yang berkali-kali dalam tempo yang tidak terlalu lama. 

Setelah sukses menerbitkan novel trilogi itu, Fira kembali meluncurkan novel barunya yang berjudul Biru (Grasindo, 2003)  dan Rojak (Grasindo, 2004). Novel Biru menceritakan tentang rencana reunian dengan teman-teman SMA yang sudah berpisah  selama dua puluh tahun, menguak kembali kisah masa lalu dan cinta masa lalu. Banyak tokoh yang berseliweran dengan alur yang meloncat-loncat dan sudut pandang yang berpindah-pindah. Berlatar kota Bogor, mungkin, karena Fira dulu SMA di kota itu.

Pada tahun 2013, Fira meluncurkan buku barunya yang berjudul Fira dan Hafez. Buku itu merupakan kisah hidupnya bersama suaminya, Hafez Agung Baskoro, yang hanya diberi kesempatan kurang dari empat bulan bersamanya. Kisah cinta yang indah dan dramatis. Buku itu kemudian dicetak ulang. Pada cetakan yang ke-3, buku itu berganti judul menjadi Cinta Selamanya (Grasindo, 2014).

Kisah dalam memoarnya itu, atas keinginan Fira, diangkat ke dalam film dengan judul “Cinta Selamanya” (2015). Film itu didedikasikannya untuk almarhum suaminya, Hafez Agung Baskoro.  Film itu disutradarai oleh Fajar Nugros, dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto serta Widy Mulya dan Dwi Sasono. Ada slogan yang menarik yang disertakan dalam film itu, yaitu “Mata menatap, hati menetap, cinta selamanya “.

Sampai saat ini Fira terus menulis, tiada henti. Karena bagi Fira menulis adalah kebutuhan, sama seperti makan, minum, bahkan bernafas. Jika tidak menulis, ia akan merasa blingsatan. Menurut Fira, yang menjalani pola hidup sehat dengan menjadi vegetarian, kebiasaan membaca dan menulis dapat membuat orang awet muda dan tidak mudah pikun.

8. Marga T 

Marga T adalah seorang penulis novel yang sangat terkenal pada era 70-an.Namanya terus disebut oleh banyak orang, dari mulai remaja putri, ibu-ibu, juga kaum lelaki.Novelnya yang melambungkan namanya untuk pertama kali adalah Karmila (1973).

Cerita “Karmila” sebelumnya dimuat dalam bentuk cerita bersambung di surat kabarKompas. Cerber “Karmila 1” mulai 6 Juni 1970 dan Cerber “karmila 2” mulai 15 April 1971. Lalu, cerber itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dalam bentuk novel dan meledak di pasaran.Novel itu cepat sekali mengalami cetak ulang. Pertama sekali diterbitkan Desember 1973, pada bulan Februari 1974 sudah mengalami cetakan ke-2, April 1974 cetakan ke-3, Juni 1974 cetakan ke-4, Oktober 1974 cetakan ke-5, Februari 1975 cetakan ke-6, desember 1975 cetakan ke-7 September 1975 cetakan ke-8, dan seterusnya. Pada tahun 2003 juga masih  dicetak ulang untuk yang ke-19 dan tahun 2004 cetakan yang ke-20 dengan edisi khusus (hard cover).

Begitu terkenalnya novel itu hingga tak cukup dibaca saja dan akhirnya ditampilkan dalam bentuk layar lebar. Novel itu difilmkan pertama kali pada tahun 1974 yang disutradarai oleh sutradara terkenal saat itu, yaitu Ami Priyono, serta dibintangi oleh Muriani Budiman dan awang Darmawan.

Setali tiga uang dengan novelnya, filmnya pun meledak di pasaran dan sangat popular di masyarakat.Tidak cukup sampai di situ, novel itu pun di filmkan pula untuk yang kedua kalinya, yaitu pada tahun 1981. Kali ini filmnya disutradarai oleh Nico Pelamonia, serta dibintangi oleh bintang film yang sangat popular saat itu, yaitu Robby Sugara dan Tanty Yosepha. Filmnya yang ini pun tetap meledak dan digandrungi oleh masyarakat.

Oleh karena itu, tak heran kalau seri sinetronnya juga hadir kemudian. Sinetron itu diberi judul yang sama “Karmila”, disiarkan oleh stasiun televisi Indosiar pada tahun 1998 serta dibintangi oleh Paramitha Rusady dan Teddy Syah. Tak sulit diduga, sinetron yang berdurasi satu jam dan ditayangkan dalam 26 episode itu pun mampu menuai kesuksesan, yang hampir sama dengan film-filmnya.

Novel Karmila dan novel-novel Marga T yang lahir kemudian, dengan jumlah yang cukup banyak, secara umum dikelompokkan ke dalam novel popular meskipun oleh sebagian tokoh dikelompokkan sebagai novel yang bernilai sastra yang baik, sama dengan novel-novel sastra lainnya.

Marga T atau lengkapnya Marga Tjoa lahir di Jakarta, 27 Januari 1943. Marga T adalah seorang penganut Katolik yang taat. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya (SD) pada tahun 1956, SMP (1959), dan SMA (1962). Lalu, ia melanjutkan pendidikannnya di Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti, Jakarta dan memperoleh gelar dokter dari almamaternya tersebut.

Ia mulai menulis sejak usia 14 tahun, ia menulis di majalah sekolahnya. Pada usia 21 tahun, cerpen pertamanya muncul di surat kabar dengan judul “Kamar 27”. Di usianya yang ke-26, ia sudah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Rumahku adalah Istanaku (1969, cerita anak-anak). Cerbernya “Karmila” ditulis pada saat ia masih kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti, Jakarta.

Sebagai penulis, Marga adalah seorang pekerja keras. Kedisiplinannya terlihat saat ia berkomitmen untuk menghabiskan waktunya empat hingga lima jam setiap hari untuk mengarang. Ia juga disiplin untuk membaca. Ia membacasegala macam buku, dari berbagai macam pengarang.

Menurutnya, “Masyarakat berhak memilih bacaan yang disukainya, tetapi penulis tidak. Ia harus membaca tulisan siapa pun.”Sepertinya, itu adalah prinsipnya. Oleh karena itu, ia rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli novel karena ia harus membaca banyak karya penulis lain.

Karya-karyanya yang lahir kemudian sungguh membuat takjub. Bukan hanya karena jumlahnya yang banyak, melainkan juga karena mampu menjadi novel-novel laris. Novelnya Badai Pasti Berlalu (1974) juga menjadi perbincangan yang panjang. Novel yang sangat banyak mendapat apresiasi. Novel itu, sebagaimana juga Karmila, bermula dari cerber di surat kabar Kompas (mulai 5 Juni—2 September 1972). Lalu, oleh Gramedia Pustaka Utama, diterbitkan pertama kali sebagai novel pada bulan Maret 1974. Pada bulan April 1974 mengalami cetakan ke-2, Juli 1974 cetakan ke-3, Oktober 1974 cetakan ke-4, Februari 1975 cetakan ke-5, Februari 76 cetakan ke-6, Oktober 1976 cetakan ke-7, dan seterusnya. Sungguh produk yang sangat mengagumkan.

 Lagi-lagi, novel ini menggelitik insan perfilman. Tak kurang dari sutradara tangguh Indonesia, Teguh Karya, mengalihwahanakan novel itu ke layar lebar  dengan judul yang sama, “Badai Pasti Berlalu”. Film itu dirilis pada tahun 1977 dan dibintangi oleh Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Roy Marten, dan Mieke Widjaya.

Untuk mendampingi film ini, Eros Djarot menciptakan lagu dan musik yang sangat indah dengan judul yang sama “Badai Pasti Berlalu”.Lagu “Badai Pasti Berlalu” dinyanyikan secara duet oleh suara-suara yang juga luar biasa milik Berlian Hutauruk dan Chrisye.Jadilah novel Marga T itu menjadi satu film yang sangat indah.Film yang diangkat dari novel Marga itu juga menuai banyak penghargaan di FFI 1978.

Tiga puluh Tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2007, diluncurkan lagi film daur ulang “Badai Pasti Berlalu” yang disutradarai oleh Teddy  Soeriaatmadja dan dibintangi oleh Vino G. Bastian dan Raaihanun.

Novel Marga T yang lain yang juga meledak saat dipasarkan, antara lain, adalah Gema Sebuah Hati yang diambil dari cerber surat kabar Kompas (dimuat di Kompas mulai tanggal 9  Oktober 1974) dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1976 dan novel Bukan Impian Semusim  yang diambil dari cerber majalah Femina (dimuat mulai 6 Agustus 1974) dan diterbitkan oleh PT Gaya Favorite Press pada tahun 1976 yang di kemudian hari juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1991. Novel Bukan Impian Semusim itu juga diangkat ke layar lebar dengan judul sama. Sutradaranya adalah Ami Priyono dan  bintangnya, antara lain, Djatu Parmawati dan Deddy Mizwar.

Marga T adalah sosok penulis yang sederhana. Meskipun bukunya sangat laris  dan namanya sangat terkenal, iatidakinginterlalu dikenal masyarakat. Ia khawatir tidak bisa lagi bebas naik bus atau nonton bioskop. Ia menikah pada tahun1979 dengan seorang insinyur kimia, lulusan Universitas Trisakti (satu almamater dengannya), tapi bertemu di Eropa saat ia sedang mengunjungi Negara itu. Marga T memperoleh biaya mengunjungi Eropa berkat novelnya Karmila yang beberapa kali dicetak ulang.

Saat ini Marga T telah  menulis 80 cerita pendek, 50 cerita untuk anak (novel, novelette, dan kumpulan cerpen), dan 38 novel. Cerita-cerita Marga T tidak hanya berkisah tentang cinta, tapi juga ada kisah misteri (detektif), dan juga cerita satire.  Sebelum dikumpulkan menjadi buku, tulisannya banyak yang lebih dulu dipublikasikan melalui surat kabar atau majalah, antara lain, di surat kabar Sinar Harapan, Kompas, Suara Karya dan  Star Weekly serta majalah Femina, Gadis,dan Mitra.

Novelnya yang paling mutakhir adalah Sekuntum Nozomi. Novel itu terdiri atas lima seri, yaitu dari buku kesatu sampai buku kelima (terbit tahun 2002--2006). Kelima novel itu berisi halaman yang cukup tebal (buku kesatu 514 halaman, buku kedua 662 halaman, buku ketiga 418 halaman, buku keempat 381 halaman, dan buku kelima 468 halaman). Bukunya yang ke-3 mengangkat kisah seputar tragedi Mei 1988 yang menelan banyak korban, khususnya kaum perempuan keturunan Tionghoa.

9. Mira W 

Novelis Mira W. ANTARA/Nanien Yuniar

Mira W adalah novelis terkenal yang dibanggakan oleh Indonesia karena dari tangannya sudah lahir puluhan tulisan yang berupa novel, novelette, dan cerita pendek yang disukai oleh masyarakat. Ia menulis tak henti, sejak tahun 1975 (cerpennya “Benteng Kasih” dimuat di majalah Femina) hingga novel sisi Gelap Cinta (2015), karya yang terakhir ditulisnya untuk saat ini. Masyarakat Indonesia, khususnya penggemar tulisannya, tentu masih berharap akan lahir lagi karyanya yang terbaru. 

Mira W atau Mira Widjaya (nama lengkapnya) lahir di Jakarta, tanggal 13 September tahun 1951. Saat ini usianya 65 tahun. Agama yang dianutnya adalah Kristen Protestan. Dalam beberapa novelnya, terlihat latar belakang kepercayaannya ini.

Ia memulai pendidikannya dengan masuk ke sekolah dasar (SD) di St. Maria Fatima, Jakarta (lulus tahun 1963), lalu melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama (SLP) di sekolah yang sama (lulus tahun 1966). Setelah itu, ia masuk ke sekolah lanjutan atas (SLA) di Marsudirini, Jakarta (lulus tahun 1969) dan meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran, Universitas Tri Sakti (lulus tahun 1979).

Setelah lulus menjadi dokter, ia mengabdikan ilmu kedokterannya melalui Universitas Prof. Dr. Moestopo, sebagai staf pengajar merangkap dokter di klinik (Kepala Balai Pengobatan, 1984). Selain itu, Mira juga membuka  praktik dokter pribadi di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur.

Menulis adalah hobinya sejak kecil. Sejak di bangku sekolah dasar ia sudah suka menulis. Ia mulai menulis dengan membuat catatan harian. Setelah itu, ia mulai ikut menulis di majalah sekolah dan juga majalah dinding. Selanjutnya, ia mulai memberanikan diri mengirimkan tulisannya ke majalah atau surat kabar. Ternyata usahanya tidak sia-sia, ia berhasil. Tulisannya yang berupa cerpen berjudul “Benteng Kasih” dimuat di majalah Femina pada tahun 1975. 

Ia semakin produktif dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke media dan juga penerbit. Tulisannya dimuat di beberapa surat kabar dan majalah, antara lain, Kompas, Femina, Dewi, dan Kartini. Tema-tema ceritanya yang tentang cinta yang sangat akrab bagi siapa pun dan bahasanya yang komunikatif membuat tulisannya mudah diterima oleh pembacanya, terutama pembaca muda. Mira memang popular di kalangan remaja putri dan ibu-ibu muda.  

Pada tahun 1977 cerita bersambungnya yang berjudul “Dokter Nona Friska” dimuat di majalah Dewi. Cerita bersambung ini kelak diterbitkan sebagai novel dengan judul Kemilau Kemuning Senja (tahun 1981). Namun, novelnya yang pertama terbit adalah Sepolos Cinta Dini, diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun 1978. Novel pertamanya itu juga bermula dari cerita bersambung yang dimuat di surat kabar Kompas pada tahun 1977.

Setelah novelnya yang pertama itu (terbit 1978), mulailah pasar novel Indonesia dibanjiri oleh karya-karya Mira yang terus bermunculan dengan sangat atraktif. Tak perlu menunggu lama, pada tahun yang sama lahirlah novel keduanya, Cinta Tak Pernah Berhutang (1978). Lalu, menyusul novel berikutnya, Permainan Bulan Desember (1979), Tatkala Mimpi Berakhir (1979), Matahari di Batas Cakrawala (1980), Kuduslah Cintamu, Dokter (1980), Ketika Cinta Harus Memilih (1980), Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (1980), dan seterusnya. Mira W sangat produktif.

Beberapa dari novelnya itu kemudian menarik perhatian insan  perfilman, sama seperti karya novel pendahulunya, Marga T, yang karyanya juga sudah difilmkan dan disinetronkan. Banyak kalangan yang menilai ada kesamaan antara Mira W dan Marga T. Di antaranya, novel-novel mereka bernuansa cinta dan digemari oleh remaja putri dan ibu-ibu. Kesamaan lain, mereka sama-sama dokter lulusan Universitas Tri Sakti dan sama-sama keturunan Tionghoa.

Novel Mira W yang sudah difilmkan, antara lain, adalah Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi difilmkan dengan judul yang sama, “Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi” (1980). Film ini disutradarai oleh Wim Umboh (sutradara yang sangat terkenal saat itu dan peraih banyak piala citra) serta dibintangi oleh Widiawati dan Roy Marten. Film ini mendulang banyak penonton dam mendapat banyak pujian. 

Novel lainnya, adalah Kemilau Kemuning Senja yang juga difilmkan dengan judul yang sama “Kemilau Kemuning Senja” (1980). Film itu disutradarai Hasmanan dan dibintangi oleh, Widyawati, Sophan Sophian, dan Awang Darmawan. Cerita-cerita Mira W memang mampu memancing perhatian masyarakat. Film ini pun cukup berhasil sebagaimana film pendahulunya.

Selain dua contoh di atas, novel Mira W lainnya yang sudah dialihwahanakan menjadi film adalah “Seandainya Aku Boleh Memilih” (1984) dengan sutradara  Wahab Abdi dan  dibintangi oleh Nena Rosier dan Roy Marten. Lalu, Film “Romantika: Galau Remaja di SMA” (1985) yang disutradarai oleh Hengky Solaiman dan dibintangi oleh Meriem Bellina dan Paramitha Rusady, di samping film “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji” (1986) yang disutradarai oleh Wim Umboh dan dibintangi oleh Paramitha Rusady dan Adi Bing Slamet.

Film “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” (1987) mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat maupun tokoh perfilman. Film itu menjadi tontonan favorit saat itu.  Film yang disutradarai oleh Sophan Sophiaan dan dibintangi oleh Widyawati dan Rano Karno itu mendapat banyak sekali pujian. Film itu juga menjadi unggulan film terbaik pada FFI 1987 dengan sejumlah nominasi dan mendapat Piala Citra untuk Aktris Uama Terbaik. Film itu juga mendapat Piala Antemas 1988, yang merupakan penghargaan untuk film terlaris.

Film “Tatkala Mimpi Berakhir” (1987) disutradarai oleh Wim Umboh dan dibintangi oleh Ray Sahetapi dan Meriem Bellina. Film ini mendapat nominasi FFI 1988 untuk pemeran utama pria dan pemeran utama wanita. Film “Perisai Kasih yang Terkoyak” (1986) disutradarai oleh Hadi Poernomo dan dibintangi oleh Tuti Indra Malaon, Nena Rosier, dan Dwi Yan. 

Film ini menjadi film pilihan FFI 1987. Begitu juga halnya dengan film “Cinta Cuma Sepenggal Dusta” (1986). Film yang disutradarai oleh Edi SS dan dibintangi oleh Christine Aristha, Deddy Mizwar, Firdha Razak, dan Gusti Randa. Film ini juga menjadi film pilihan FFI 1987.

Meskipun novel Mira sudah banyak yang difilmkan, Mira tak pernah tertarik untuk terjun aktif ke dalam dunia perfilman. Ia juga tidak mau membuat skenario filmnya karena menurut Mira, membuat novel dan membuat skenario merupakan keahlian yang berbeda. Jadi, ia fokus saja pada keahliannya, yaitu menulis novel.

10. Ayu Utami 

Ayu Utami. TEMPO | Rini Kustiani

Bagi pencinta dunia sastra, pasti telah mengenal sosok Ayu Utami penulis buku fenomenal Saman (1998) yang kontroversial pada masanya. Novelnya yang ia tulis selalu menjadi diskusi di masyarakat, namun karyanya mendapat pujian dari para kritikus dan mampu. meraih berbagai penghargaan sastra.  Ayu juga turut memberi apreasi untuk para penulis pemula melalui hadiah sastra. 

Dilansir dari laman Kemendikbud, pemenang penghargaan Prince Claus Award 2000 ini aktif menulis buku sejak 1998, Saman merupakan novel pertamanya. Namun, sebelumnya Ayu telah menulis beberapa cerpen yang terbit di majalah Humor sekitar 1989 hingga 1990.

Ayu Utami merupakan penulis kelahiran Bogor, 21 November 1968. Nama lengkapnya Justina Ayu Utami. Ia anak terakhir dari lima bersaudara dari pasangan Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartinah.

Riwayat pendidikan Ayu Utami tercatat mulai dari sekolah dasar di SD Regina Pacis, kota Bogor (1981). Kemudian pada tingkat menengah Ayu pindah ke Jakarta dan bersekolah di SMP Tarakanita 1 Jakarta (1984) hingga ia lulus SMA Tarakanita 1 Jakarta (1987). Karena ia menyukai sastra, Ayu memutuskan untuk memilih Jurusan Sastra Rusia, di Universitas Indonesia (UI) hingga ia lulus pada 1994. 

Di sela-sela kuliahnya dulu, sosok penulis novel Larung ini pernah mengikuti kontes modelling majalah Femina 1990. Ia berhasil masuk jajaran 10 besar. Namun, Ayu tidak terlalu tertarik dengan dunia modelling sehingga tak meneruskan karir di bidang ini. Selain sebagai model, pekerjaan menjadi sekretaris pernah dicobanya di sebuah perusahaan pemasok senjata dan mencoba di Hotel Arya Duta sebagai guest public relations. 

Dilansir dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, Ayu pertama kali terjun ke dalam dunia jurnalistik pada tahun 1991. Ia bekerja di beberapa media sebagai wartawan seperti di Majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Dari kesempatan menjadi wartawan itulah Ayu merasa mempunyai keterampilan menulis. 

Ia menjadi aktif menulis lewat tulisan mingguan di kolom “Sketsa”, harian Berita Buana. Kecintaannya kepada dunia pers membuat ia menjadi salah seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hingga bersama membangun Komunitas Utan Kayu. Komunitas Utan Kayu merupakan sebuah kelompok yang berfokus pada kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia juga sekaligus menjadi anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.

Berbekal dari berbagai pengalamannya sebagai jurnalis, Ayu mantap menerbitkan buku pertamanya berjudul Saman 1998. Novel tersebut berhasil meraih banyak penghargaan. Setelah itu dibuatlah sekuel dari Saman yaitu Larung tiga tahun setelahnya. Hingga terbitlah novel-novel selanjutnya, seperti Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Si Parasit Lajang (2003), Cerita Cinta Enrico (2012), dan Soegija: 100% Indonesia (2012). 

Ia pun telah meraih berbagai penghargaan antara lain Pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novelnya Saman, Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag pada 2000, hingga Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu. 

Ayu juga merupakan salah seorang yang mengajukan amicus curiae saat sidang sengketa Pilpres 2024 lalu. Amicus Curiae yang saat itu digagas budayawan, sastrawan dan pekerja seni lainnya seperti Butet Kertaredjasa dan Goenawan Mohamad untuk menegaskan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ayu turut hadir dalam penyerahan berkas di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Senin, 1 April 2024.

Pilihan Editor:  NH Dini dalam Kenangan, Membaca Kembali 5 Karyanya yang Menyentuh Hati

TEMPO | KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Halaman

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."