Daftar Bos Startup Perempuan, dari Mesty Ariotedjo hingga Amanda Simandjuntak

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Mesty Ariotedjo/Foto: Instagram/Mesty Ariotedjo

Mesty Ariotedjo/Foto: Instagram/Mesty Ariotedjo

IKLAN

5. Ardelia Apti - Mapan

Ardelia Apti - Mapan. Dok Instagram @ardelaapti

etiap orang punya perjalanan karier masing-masing. Ada yang memulai dari bidang lain, sebelum menemukan minat yang lebih dicintainya. Itulah yang tergambar dari Ardelia Apti yang kini menjabat sebagai Chief Executive Officer atau CEO Mapan. Mengawali karier di perusahaan konsultan McKinsey & Company, beralih mendirikan perusahaan rintisan atau startup teknologi, gabung ke Go-Jek, dan kini duduk di pucuk pimpinan Mapan, perusahaan rintisan teknologi yang bergerak di bidang investasi arisan.

Ardelia mengisahkan kala karier dia beralih dari dunia konsultan menjadi bidang teknologi, orang tuanya sempat bertanya. "(Mendengar saya mendirikan perusahaan rintisan teknologi) Orang tua saya, 'apa ini, apa ini' (karena mereka belum familiar saat itu)," ucapnya dalam bahasa Inggris di acara "Women with Impact – International Women’s Day 2023" by East Venture di kantor Google Indonesia, Jakarta Pusat, pada Rabu, 8 Maret 2023.

Tak hanya orang tuanya, Ardelia pun berjuang memahami dan menyesuaikan diri dengan "dunia baru" yang dipilihnya. "Saya juga tidak tahu bagaimana saya akan membuat sebuah ruang dalam sesuatu yang disebut sebagai startup teknologi ini, kemudian saya menyadari ini adalah situasi yang sangat kacau. Saya berasal dari konsultan, dan saya segera menyadari sebenarnya ada ruang besar yang perlu diseimbangkan, ini tipe (kekuatan) yang dimiliki perempuan," ujar sarjana ekonomi Universitas Indonesia itu.

Sambil belajar memahami bidang teknologi, Ardelia menyadari bahwa orang-orang yang andal di teknologi, tak semuanya memiliki kemampuan yang baik dalam manajemen bisnis. Melihat situasi tersebut, dia melihat peluang untuk menunjukkan kemampuannya dalam berorganisasi dan mengelola bisnis.

"Saya seperti 'oh oke, kamu bukan dari bidang teknologi, tapi ada ruang besar untuk kamu menyeimbangkan orang-orang teknologi yang fokus pada bidangnya saja, tapi bagian lain seperti bisnis, kepemimpinan, dan lainnya tidak terlalu dikuasai," ujarnya.

Berbekal keyakinan itu, Ardelia mengambil kesempatan tersebut sembari mempelajari hal-hal yang berbau teknologi. "Ambil kesempatan yang ada adi depan mata, dan bilang ke diri sendiri 'you can do it (kamu bisa melakukannya). (Langkah) Kedua, terorganisasi. Menjadi terstruktur dalam cara kita mendekati sesuatu dan memahami bagaimana kita memengaruhi orang dengan hal yang kita rasa nyaman dan mengetahui bahwa kita bisa menjadi orang yang hebat," jelasnya.

6. Tessa Wijaya - Xendit 

Tessa Wijaya - Xendit. Dok. [email protected]

Women in Tech menjadi istilah yang kian ramai digaungkan, terlebih sejalan dengan pertumbuhan teknologi yang pesat di Indonesia. Selama ini industri startup dan teknologi identik dengan dominasi kaum laki-laki.

Indonesia bahkan memiliki rasio terendah di Asia Tenggara, dalam hal proporsi perempuan yang bekerja di sektor teknologi, yakni hanya 22 persen. Hal ini berbanding kontras dengan negara-negara seperti Thailand dan Filipina, yang memiliki 48 persen tenaga kerja perempuan di sektor yang sama.

Salah satu sosok perempuan yang terjun ke dunia digital adalah Tessa Wijaya, Chief Operating Officer dan Co-Founder Xendit, perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan solusi pembayaran digital untuk Indonesia dan Asia Tenggara. Setelah mendapatkan pendanaan Seri-C pada bulan September 2021 lalu, Tessa Wijaya resmi menjadi pemimpin perempuan pertama di Indonesia yang berhasil membawa startup-nya meraih status unicorn.

Tessa membagikan suka-duka serta pesannya bagi para perempuan yang tertarik untuk memasuki industri startup dan teknologi. Memiliki keprihatinan terhadap isu kesetaraan gender di lingkungan kerja, Tessa berharap bisa meningkatkan kesadaran serta ketertarikan perempuan untuk berkarya di industri yang sedang bertumbuh pesat ini.

“Secara global, founder startup perempuan di bidang teknologi finansial (fintech) masih sangat terbatas, yaitu hanya tujuh persen dari total founder fintech. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena perempuan tidak mempunyai keterampilan yang mumpuni. Namun, lebih dikarenakan kurangnya kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama bisa berkarya dengan baik di sektor digital. Itulah mengapa, penting sekali untuk mengedukasi generasi perempuan muda agar bisa menjadi pemimpin teknologi di masa depan,” ungkap Tessa yang memiliki latar belakang karir dari industri keuangan.

7. Leonika Sari - Reblood

Leonika Sari (22) dikantor Tempo, Palmerah, Jakarta. Leonika mengembakan aplikasi Reblood, yang memudahkan orang mendonorkan darah kepada Palang Merah Indonesia. Tempo/Ijar Karim

Di antara 12 anak muda asal Indonesia berusia di bawah 30 tahun yang dianggap berpengaruh atau memberi inspirasi pilihan majalah Forbes Asia, terselip nama Leonika Sari Njoto Boedioetomo. Perempuan 22 tahun alumnus Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini dipilih karena bisnis aplikasi Reblood yang dirancangnya. “Ini keberuntungan pemula. Beginner’s luck,” kata Leonika melalui Whatsapp kepada Tempo.

Leonika mengisahkan, tim Forbes sudah menghubunginya lewat surat elektronik sejak 2015. Namun dia menyatakan baru tahu masuk dalam daftar total 300 anak muda se-Asia pilihan Forbes itu belakangan. Mereka terbagi dalam 10 kategori '30 Under 30'.

Leonika terpilih di kategori Healthcare and Science. "Para pemenang nanti diundang ke acara 'Under 30 Summit Asia' 19 Mei 2016 di Singapura," tulisnya.

Leonika mengaku tak ingat persis isi surat elektronik dari Forbes. Namun yang pasti dia ditanyai banyak hal mengenai keterlibatannya dalam Reblood. “Aku disuruh cerita ngapain aja sih di Reblood. Terakhir ditanya soal tanggal lahir,” katanya.

Reblood sendiri merupakan aplikasi yang ia bikin bersama teman-temannya semasa kuliah. Tujuannya tidak semata bisnis, tapi mendorong masyarakat rutin mendonorkan darah. Aplikasi ini termasuk di antara tiga finalis dalam kompetisi Start Up Sprint Surabaya 2015.

Dalam wawancara dengan Tempo pada Januari 2016, Leonika yakin Reblood dapat mengatasi kekurangan stok darah di Indonesia. Saat itu, dia mengungkap pengamatannya bahwa kekurangan stok darah di Indonesia dapat dijembatani dengan mengoptimalkan kesiapan pendonor setiap acara donor darah digelar. 

Bekerja sama dengan PMI, Leonika dan timnya lalu merancang Reblood berbasis dua fitur utama, yakni daftar acara donor darah dan reminder. Menerima respons yang cukup baik seusai peluncuran di Surabaya, aplikasi Reblood juga ditargetkan bisa diperluas ke kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. 

“Setahun sedikitnya harus ada 100 event donor darah,” tutur Leonika yang juga pernah menjadi peserta Startup Bootcamp di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, itu.

8. Amanda Simandjuntak - Markoding 

Amanda Simandjuntak - Markoding. Dok. Instagram @amandasimandjuntak

Amanda Simandjuntak adalah pendiri Mari Kita Koding atau markoding, organisasi nirlaba yang berupaya membekali generasi muda kurang mampu dengan keterampilan di bidang sains, teknologi, matematika, termasuk bahasa pemograman komputer alias coding. 

Kedekatan Amanda dengan anak-anak di perkampungan di kawasan Cilincing itu bermula sekitar enam tahun lalu. Saat itu perempuan 36 tahun ini mendapat tawaran dari seroang temannya untuk mejadi relawan di rumah belajar Houe of Mercy di Cilincing. 

Selama beebrapa bulan menjadi relawan,  Amanda menyaksikan ternyata warnet begitu menjamur kawasan itu. warnet menjadi tempat hiburan anak-anak selepas sekolah atau belajar di House of Mercy. "Anak-anak di sana jago banget, misalnya memakai shortcut, mencari di Google atau mempelajari software baru," tutur dia. 

Lahir di Banudng, Jawa Barat, 16 April 1987, sejak kecil Amanda sudah lekat dengan teknologi. Mainan alar pendeteksi hujan hingga alarm pengusir nyamuk adalah teman Amanda kecil. Ditambah latar belkang ibunya yang merupakan peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Amanda kian akrab dengan bidang sains, teknlogi, tekniK, dan matematika alias science, technology, engineering, and mathematics (STEM).

Pada 2019, bersama Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Markoding masuk ke sekolah-sekolah untuk menggelar lokakarya yang mencakup keteramilan teknis dan nonteknis. Amanda menjelaskan, lewat program itu Markoding hendak melatih kepkeaan anak-anak terhadap masalah sosial di sekitar mereka. Dari situ, keterampilan teknis berupa coding hingga desain UI/UX diformulasikan sebagai inovsi digital. "Setelah itu mereka belajar membuat aplikasi dan inovsinya. Lalu para siswa akan mempresentasikan inovasi yang mereka kembangkan," ucapnya. 

Pilihan Editor: Startup Lokal Ini Bekerja Sama dengan 7 Produk Kecantikan Asal Taiwan, Apa Saja?

SILVY RIANA PUTRI | TEMPO.CO | MAJALAH TEMPO| DU ANYAM | TATLER ASIA | ITB 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Halaman

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."