Daftar Bos Brand Fashion Lokal Indonesia, dari Chitra Subyakto hingga Yeri Afriyani

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto. (dok. Sejauh Mata Memandang)

Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto. (dok. Sejauh Mata Memandang)

IKLAN

6. Chitra Subyakto - Sejauh Mata Memandang 

(ki ka)Rania Yamin, Titi Radjo Padmaja, Chitra Subyakto, Dian Sastrowardoyo, Tissa Biani, Shareefa Daanish, dan Faradina Mufti di peluncuran koleksi terbaru Sejauh Mata Memandang, "Kudapan". (dok. Sejauh Mata Memandang)

Chitra Subyakto yang dikenal memiliki ciri khas berbusana yang tiada dua, kemudian mendirikan brand Sejauh Mata Memandang (SMM) dengan konsep Batik kontemporer pada tahun 2014. Seni Batik yang telah menjadi kebanggaan Indonesia menjadi fokus utama label miliknya. Selain itu, sustainable fashion juga menjadi concern Chitra dengan memilih bahan dan pewarnaan yang ramah lingkungan. 

Namun, alih-alih menerjemahkan batik secara harfiah, Chitra memilih untuk melakukan modernisasi terhadap corak Batik dengan caranya sendiri yang membedakannya dengan yang lain. Salah satu corak yang diangkat adalah ilustrasi ayam yang biasa ditemukan di mangkok, kisah Timun Mas, laut Indonesia, dan Jembatan Semanggi yang melibatkan ibu-ibu dari beberapa rumah susun di Jakarta.

Bagi perancang busana Chitra Subyakto, 45 tahun, ide bisa datang dari benda-benda di sekitar. Misalnya mangkuk mi. Sejak kecil, Chitra doyan mi ayam. Setiap kali memesan mi ayam, dia berharap penjual menyajikannya dalam mangkuk bergambar ayam jago yang ikonik itu. "Lucu, ada gambarnya," katanya, beberapa waktu lalu.

Mangkuk ayam jantan berbulu hitam-merah dengan bunga besar itu menjadi wadah makanan kesukaan Chitra Subyakto sampai hari ini. Ketika mendesain kain untuk Sejauh Mata Memandang, merek fashion yang ia buat bersama dengan kawannya, Arya Dipa, empat tahun lalu, dia menuangkan gambar pada mangkuk tersebut.

Jadilah goresan jago yang kaku dalam warna monokrom. "Itu salah satu pattern pertama kami, judulnya Noodle Bowl," ujar peraih Piala Citra 2016 untuk kategori penata busana terbaik lewat film Athirah karya Riri Riza itu. Ide Chitra Subyakto juga mengalir dari hal-hal yang jauh. Saat memandang foto sungai beberapa waktu lalu, misalnya, matanya tertuju pada rakit dan potongan bambu yang mengapung.

Jajaran bambu dijadikan pola berjudul Bambu yang dikeluarkan bulan ini. Ada potongan yang berjajar, ada pula yang sendirian. "Ini yang dipakai Reza dan Yura," katanya. Aktor Reza Rahadian dan biduan Yura Yunita mengenakannya dalam klip video lagu Pekat, yang diluncurkan awal bulan ini.

7. Yeri Afriyani - Calla the Label 

Pendiri Calla The Label, Yeri Afriyani ditemui di Senayan Park, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Mei 2024. Foto: CANTIKA/Silvy Riana Putri

Jenama mode atau fashion asal Bandung, Calla The Label berdiri sejak 2017. Selama tujuh tahun perjalanannya, Yeri Afriyani selaku pendiri dan desainer Calla The Label menerapkan sejumlah strategi untuk menjaga eksistensi bisnis termasuk menjaga DNA merek alias brand.

"Keep it dengan DNA brand. Usia Calla lebih dari tujuh tahun, kami mulai lihat kiri kanan (merek fashion lainnya), apa yang laku, dan yang dilakukan tetangga. Tapi kami tetap menjaga DNA Calla yang playful pattern (pola cerah warna-warni), elektik. Selalu ada gambar dan warna," kata Yeri di Jakarta Pusat, Jumat 10 Mei 2024.

Yeri juga mengatakan pentingnya menjaga ikatan alias bonding dengan pelanggan untuk eksistensi bisnis. Menurut dia, hal itu sudah diterapkan sejak awal merintis bisnis. Dia berkomunikasi dengan pelanggan bak kawan karib.

"Waktu dulu bangun merek ini, sebelum ada asistensi admin-admin seperti sekarang, saya berkomunikasi tak sekadar sebagai penjual dan pembeli. Misal, pembeli bercerita terlambat bayar karena mengantar anaknya ke rumah sakit. Kami menaruh perhatian pada cerita yang mereka bagikan, menanyakan kabar dan perkembangannya," ucap Yeri.

Pola interaksi itu juga yang menjadi salah satu standar operasional seluruh tim Calla kepada pelanggan di mana pun Perhatian itu berbuah manis, sehingga terbentuk komunitas pelanggan setia yang bernama Calla Squad. Komunitas itu terbentuk secara organik, kata Yeri. Jumlahnya kini mencapai 15 ribuan, dan sekitar 500 orang yang aktif saat berbincang di grup percakapan.

"Banyak banget Calla Squad, kenalan, punya grup chat sendiri, lalu temenan. Ada Calla Squad Cilegon, Banten, Depok, Bintaro, Serang. Saya sering diundang mereka untuk makan bersama di restoran atau salah satu rumah pelanggan. Makan bakso bareng-bareng. Keseruan dan kesederhanaan itu yang membuat kita saling support," ucapnya.

8. Denica Riadini  - Sukkha citta 

SukkhaCitta Founders - Denica Riadini-Flesch and Bertram Flesch dalam konferensi pers 22 April 2022

Sejak berdiri pada 2016, jenama ini konsisten mengutamakan praktik kerja yang sehat bagi para perajin dan petani untuk mendapatkan upah yang layak serta merawat bumi melalui regenerative farming.

"Sejak Sukkha Citta didirikan, kami ingin menunjukkan bahwa praktik pada industri mode yang berbeda itu sangat memungkinkan, perubahan yang menciptakan peluang bagi perempuan pengrajin dan petani di tempat mereka berada serta merawat bumi di saat yang bersamaan," ujar Founder dan CEO Sukkha Citta Denica Riadini-Flesch melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu, 29 Oktober 2022.

Mengusung konsep Farm-to-Closet, Sukkha Citta berguru kepada ibu-ibu di desa untuk menciptakan pakaian menggunakan material dan proses alami,salah satunya dengan menggunakan pewarna alami yang berasal dari tanaman dan limbah pertanian.

Selain itu, Sukkha Citta juga menanam kapas sendiri dengan menggunakan metode tumpang sari, sebuah metode dengan kearifan lokal yang alami agar terhindar dari hama tanpa menggunakan pestisida. Kapas yang menghasilkan kain, kemudian dijadikan pakaian dan 100 persen dapat ditelusuri asalnya. 56 persen dari hasil penjualan SukkhaCitta lalu dikembalikan langsung ke para pengrajin dan petani di desa-desa.

Denica memang beberapa kali memamerkan pengalamannya menggunakan baju yang sama secara berulang-ulang dalam acara formal maupun non formal. Tidak seperti influencer di bidang fashion lain yang selalu memiliki baju OOTD (outfit of the day) yang beragam, Denica terlihat lebih bangga menunjukkan foto-fotonya dengan baju yang sama berkali-kali. 

Seperti kebanyakan warga Jakarta, dulu saat membeli sebuah baju Denica tidak pernah memikirkan berbagai dampak yang diberikan sebuah baju itu. "Aku beli baju atau batik untuk digunakan setiap hari Jumat, yaudah gitu aja (dibeli)," kata wanita kelahiran 1990 di Jakarta. 

Padahal setelah berkecimpung dengan SukkhaCitta selama 8 tahun terakhir, ia tahu bahwa satu buah baju itu dibuat minimal oleh 12 keluarga. Dan ternyata proses itu pun membutuhkan waktu minimal 180 hari dihitung sejak penanaman hingga penjahitan dan menjadi sebuah karya. "Aku dulu tidak menyadarinya," kata Denica kepada Tempo dalam wawancara virtual pada 28 Februari 2023.

Namun pemikirannya berubah ketika sudah bertemu dengan para ibu-ibu pengrajin di kawasan Jawa Timur. Pertemuan itu berawal ketika Denica berusaha untuk mencari cara mengatasi kemiskinan yang sistemik di beberapa daerah di Indonesia. Ia pun mencoba mengenal lebih dalam kehidupan para ibu-ibu ini. Selain pertanian, sumber mata pencaharian masyarakat daerah itu adalah kerajinan tangan. Sangat timpang dengan di kota yang pilihan pekerjaannya sudah sangat banyak. "Ternyata saat bicara perempuan, kerajinan tangan ini penompang hidup begitu banyak masyarakat di desa," katanya. 

Ia pun mencoba membuat SukkhaCitta yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara ibu-ibu di desa dan konsumen di dunia yang selama ini terputus. Denica awalnya hanya menemukan 3 orang ibu berusia 60 tahun ke atas yang masih memiliki keahlian kerajinan tangan itu. Maklum kebanyakan anak muda di daerah itu lebih memilih untuk bekerja di minimart dengan pendapatan UMR. "Kalau kita tidak mengerjakan sesuatu dari sekarang, kita akan kehilangan rantai kerajinan tangan ini yang biasanya diwariskan secara turun temurun dari ibu ke anak," katanya.

Dalam perjalannya membuat karya dari desa, Denica pun menyadari berbagai limbah fashion yang dihasilkan. Para pengrajin menggunakan pewarna kimia untuk mewarnai kain-kain mereka. Harga pewarna kimia ini memang murah, namun dampaknya ke alam cukup serius. Proses pencucian kain yang dilakukan berkali-kali membuat air limbah kimia itu dibuang langsung ke sungai di mana anak-anak pengrajin bermain. Belum lagi zat kimia ini berdampak buruk pada kulit para pengrajin. "Bahkan tanpa kita sadari, limbah beracun itu mencemari air yang juga menjadi irigasi ke padi makanan kita sehingga balik lagi dampaknya ke kita," kata Denica. 

Denica berpikir bahwa selama ini harga baju yang murah saat dibeli orang ternyata harus 'dibayar' mahal dengan dampak kepada pengrajin dan alam. Denica pun mencari tahu kepada para pengrajin setempat, apa resep nenek moyang dalam pewarnaan alami untuk kain. Dari mereka, Denica tahu bahwa ada warna daun yang bisa memberikan warna ungu, atau ada kayu yang bisa memberikan warna merah. Ada pula buah yang memberikan warna kuning. 

Ketika masalah pewarnaan selesai, Denica menghadapi masalah lain. Serat kain yang biasanya mereka gunakan terbuat dari kapas. Padahal kapas dinobatkan menjadi tanaman paling kotor sedunia. Tanaman kapas adalah jenis tanaman yang membutuhkan banyak air terutama pada tahap awal penanaman. Setiap satu kilogram kapas setidaknya membutuhkan 1500 liter air. Jenis air yang digunakan meliputi air hujan, air irigasi, dan air campuran pupuk yang bisa mendegradasi kualitas tanah. 

Kapas memang menjadi serat alami yang baik untuk lingkungan. Walau begitu, produksi kapas ternyata tidak ramah lingkungan, bahkan merusak lingkungan. Pertanian kapas biasanya menggunakan pestisida kimia untuk mengendalikan hama yang bisa merusak tanah dan mencemari kandungan air. "Pertanian kapas pun dilakukan mono kultur. "Artinya hutan itu harus dibahat untuk ditanami kapas. Jadi dia ditanam dengan cara menyakiti bumi," kata Denica prihatin. 

Setelah bertanya ke sana ke mari, wanita yang tidak memiliki latar belakang pertanian maupun fashion ini pun baru tahu bahwa nenek moyang kita biasa menggunakan metode tumpang sari, yaitu bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa pelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang bersamaan atau agak bersamaan. Biasanya kedua tanaman itu akan saling melindungi. Denica pun mendekati petani kapas dan mencoba mengajak mereka menggunakan pola ini. Petani menanam jagung dan kapas sekaligus. Hasilnya, kedua tanaman itu saling menguntungkan. Bahkan para petani pun mendapatkan untung, mereka tidak hanya panen kapas, namun juga panen jagung sekaligus. 

9.  Nurdini Prihastiti - Dama Kara 

Founder Dama Kara Nurdini Prihastiti/Foto: Instagram/ Nurdini Prihastiti
Berangkat dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing, brand fashion lokal dengan look jumputan bernama Dama Kara terlahir dari ide Nurdini Prihastiti. Dama Kara ini memiliki makna tersendiri. Dama artinya kebajikan atau kebaikan. Kara kita ambil dari filosofi kelapa yang mulai dari buah, daun, batangnya semua bisa bermanfaat.

Sejak dirilis Januari 2020, Dama Kara ini diharapkan menjadi sebuah brand yang bisa membawa kebaikan dan bermanfaat untuk banyak orang. Untuk motifnya, produk ini menggunakan teknik batik cap yang dibuat secara hand made, dicap satu per satu. Pewarnaannya pun masih tradisional. Untuk pengeringannya masih menggunakan sinar matahari langsung. 

Berbeda dengan motif batik pada umumnya, Dama Kara membuatnya lebih simpel tapi juga sarat makna. Seperti motif Gayatri, itu motifnya garis dua. Maknanya adalah dualisme dari manusia. Tiap orang itu memiliki kelebihan dan kekurangan, keduanya saling bertaut. Atau misalnya motif Kinasih, yang bermakna triangle balance. Sebab dalam kehidupan punya sisi-sisi yang harus diseimbangkan.

Dama Kara berkomitmen untuk mengangkat kain yang diproses pengrajin kami secara tradisional pada volume ganjil dan mendukung terapi menggambar bagi rekan istimewa.
Dama Kara juga mengapresiasi gambar yang dihasilkan pada terapi ini untuk diaplikasikan ke koleksi volume genap, dan rekan istimewa yang gambarnya kami angkat akan mendapatkan royalti penjualan setiap bulannya.

Dama Kara berharap, akan terlahir kebanggan dan apresiasi terhadap penyandang autis dari keluarga dan lingkungan sekitar. Melalui langkah kecil ini, kami berharap bisa merangkul rekan istimewa lainnya untuk berkarya melalui Dama Kara.

Tak menyia-nyiakan peluang yang ada, Dini pun kembali melahirkan inisiatif yang bertujuan untuk membantu para wanita memiliki peluang bisnis di masa pandemi. Dini meluncurkan Khana Home Dress yang memproduksi produk daster rumahan dengan bahan berkualitas dan motif yang modern namun memiliki harga terjangkau.

Selain mendukung kegiatan terapi bagi rekan-rekan penyandang autis, Dini juga memiliki program khusus untuk menyalurkan hasil penjualan selama bulan Ramadan ke panti asuhan dan memberikan dukungan beasiswa bagi anak yatim penghafal Al Qur'an. Selain itu, hasil penjualan dari Kinasih series diberikan sebagai bantuan untuk mendukung ibu kepala keluarga.

10.  Yessi Kusumo - Shop at Velvet

Kalau Anda pernah mengenal salah satu brand fahsion lokal yang sukses di ecommerce ialah  Shop at Velvet. Pasangan Yessi Kusumo dan Randy W. Sastra adalah sosok di balik lahirnya bisnis fashion yang didirikan sejak tahun 2011. Yessi Kusumo sukses dengan mengandalkan penjualan melalui media sosial.

Mulanya, Yessi dan suami bekerja sebagai desainer proyek di salah satu perusahaan arsitektur karena keduanya menggeluti bidang arsitektur semasa kuliah. Akan tetapi, kecintaannya pada desain bisa membawa mereka berbisnis sendiri. Banyak tantangan yang dilalui oleh Yessi Kusumo untuk mencapai kesuksesan. 

Namun Yessi tidak pernah merasa terbebani dengan tantangan yang muncul di dalam bisnisnya. Yessi menganggap semua tantangan yang muncul sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik lagi. 

Meski sudah memiliki banyak pelanggan dan sukses mencuri hati pelanggan, Yessi Kusumo masih ingin mengembangkan bisnisnya dengan menciptakan banyak sesuatu yang baru. Semua tentu akan dilakukan dengan segala usaha terbaik yang bisa diberikan untuk Shop at Velvet. 

Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukana ialah bersama kedai kopi Kisaku. Yessi mengatakan 60 persen tim kreatif di label fashionnya adalah perempuan. Kepala produksi terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. "Kami ingin memberdayakan perempuan dengan tidak terlalu banyak mematok syarat untuk bekerja," kata dia.

Selain memiliki visi sejalan untuk memberdayakan perempuan, Yessi melanjutkan, nuansa warna Kisaku sesuai dengan mayoritas koleksi pakaian Shop At Velvet. "Kami banyak menggunakan warna monokrom, seperti krem, putih, abu-abu, dan hitam," katanya. "Kami juga punya ciri khas serupa, kasual, kontemporer dengan gaya minimalis."

Koleksi kolaborasi Kisaku dan Shop At Velvet terdiri dari 35 kaos, sweater, kemeja, outerwear, gaun, dan celana. Bahannya terdiri dari katun, satin, kaus, dan wool acrylic dengan harga sekitar Rp 219 ribu sampai Rp 499 ribu. "Kami menghadirkan produk berkualitas. Sebab kualitas yang lebih baik akan menjadikan sebuah produk bertahan lebih lama, dan pada akhirnya kita bisa lebih ramah lingkungan dengan mengurangi sampah.

Pilihan Editor: Gandeng Olivia Lazuardy, Brand Fashion Lokal Claude Rilis Koleksi Denim dan Knit

SILVY RIANA PUTRI | MITRA TARIGAN | INDONESIA BLOG | TEMPO.CO | OEMAH ETNIK | BANDUNG.GO.ID

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Halaman

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."