Mengapa Kita Ingin Konsumsi Makanan Manis saat Stres? Ini Penjelasannya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi wanita makan makanan manis. Unsplash/Thomas Kelley

Ilustrasi wanita makan makanan manis. Unsplash/Thomas Kelley

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Menurut studi yang dipublikasikan dalam Jurnal Scientific American tahun 2019 berjudul Mengapa Kita Menginginkan Makanan Manis Saat Stres? dilaporkan bahwa meskipun otak kita hanya menyumbang 2 persen dari berat badan kita, organ tersebut mengonsumsi setengah dari kebutuhan karbohidrat harian dan glukosa adalah bahan bakar terpentingnya. 

Dalam kondisi stres, otak memerlukan energi sebanyak 12 persen lebih banyak, sehingga tidak orang memilih makanan ringan yang manis-manis. Karbohidrat memberi tubuh sumber energi tercepat. Faktanya, dalam tes kognitif, subjek yang mengalami stres memiliki kinerja buruk sebelum makan. Namun performa mereka kembali normal setelah mengonsumsi makanan.

Saat lapar, seluruh jaringan wilayah otak aktif. Di tengahnya terdapat hipotalamus ventromedial dan hipotalamus lateral. Kedua wilayah di batang otak bagian atas ini punya fungsu dalam pengaturan metabolisme, perilaku makan, dan fungsi pencernaan. Namun, terdapat penjaga gerbang, yaitu nukleus arcuatus di hipotalamus. Jika otak kekurangan glukosa, penjaga gerbang ini memblokir informasi dari seluruh tubuh. Itu sebabnya saat mengonsumsi karbohidrat segera setelah otak menunjukkan kebutuhan energi, bahkan ketika seluruh tubuh mendapat pasokan energi yang cukup.

Gula menurunkan respons stres di otak manusia. Akibatnya, kita mungkin mengonsumsi gula sebagai cara cepat untuk menahan perasaan stres. Untuk menguji hipotesis ini,  maka dilakukan tes stres pada dua kelompok wanita. Selama dua minggu, satu kelompok diminta meminum minuman mengandung gula tiga kali sehari, sedangkan kelompok lainnya diminta meminum minuman pengganti aspartam. Para wanita tersebut melakukan tes stres sebelum dan sesudah perawatan, dan dilakukan pengukuran respons otak terhadap stres: 1) produksi senyawa stres, kortisol, dan 2) aktivitas di wilayah tertentu di otak, hipokampus. 

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa konsumsi gula mengubah kadar kortisol dan aktivitas hipokampus selama stres, dan juga bagaimana otak merasakan dan merespons peristiwa stres.

Aktivitas hipokampus diatur oleh banyak faktor, tidak hanya stres. Bagaimana perubahan aktivitas di hipokampus berhubungan dengan respons stres masih belum jelas. Selain itu, bagaimana produksi kortisol dan aktivitas otak dikoordinasikan untuk menghasilkan respons otak terhadap stres sebagai respons terhadap gula masih belum jelas. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana konsumsi gula mempengaruhi otak selama masa stres.

Bagi sebagian orang, otak tidak dapat memperoleh energi dari cadangan tubuh, meskipun terdapat cukup timbunan lemak. Penyebab paling penting dari hal ini adalah stres kronis. Untuk memastikan otak mereka tidak kekurangan pasokan maka harus selalu makan dalam jumlah yang cukup. Seringkali satu-satunya jalan keluar dari kebiasaan makan seperti itu adalah dengan meninggalkan lingkungan yang penuh tekanan. 

Jadi meskipun banyak orang yang cenderung keras pada diri sendiri karena makan terlalu banyak makanan manis atau karbohidrat, alasan di balik keinginan tersebut tidak selalu disebabkan oleh kurangnya pengendalian diri. Sebab, bila akar penyebab stres diatasi, kebiasaan makan -termasuk makanan manis -pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya.

Pilihan Editor: Kreasi Resep Dessert Kilat bagi Kamu Si Pecinta Makanan Manis

JURNAL SCIENTIFIC AMERICAN

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."