Jelang HUT RI ke-79, Najelaa Shihab Ungkap Pekerjaan Rumah di Bidang Pendidikan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Najeela Shihab/Foto: Doc. Pribadi

Najeela Shihab/Foto: Doc. Pribadi

IKLAN

Memang tantangan masih banyak, pendidikan yang berkualitas masih belum merata, masih mahal dan belum terjangkau bagi sebagian besar anak Indonesia. Masih banyak yang bersekolah tanpa benar-benar belajar mengasah potensi dan kompetensi mereka, masih banyak yang lulus sekolah dengan rasa pesimis tentang apa manfaatnya bertahun-tahun belajar bagi masa depan dan kesejahteraan mereka. Masih banyak anak Indonesia yang mengalami kekerasan di sekolah. Masih banyak masalah, tapi jangan kita melihatnya secara pesimis dan merasa tidak punya kemerdekaan untuk melakukan
sesuatu terhadap masalah-masalah tersebut.

Lantas, hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki pada kondisi pendidikan di Indonesia? Salah satunya mindset tentang kemerdekaan dan keberdayaan di atas tidak lepas dari budaya gotong royong dalam sistem pendidikan kita yang masih perlu terus dikuatkan dan diperbaiki.

"Sistem Pendidikan harus terus terbuka secara sengaja dan konsisten, untuk melibatkan masyarakat. Pemerintah perlu sadar betul bahwa mereka tidak dapat menyelesaikan masalah pendidikan sendirian. Mereka perlu peran serta masyarakat. Di level yang lebih mikro, guru juga demikian perlu menyadari bahwa mereka perlu dukungan orangtua/wali dan masyarakat karena proses belajar terjadi di ruang kelas, di dalam sekolah, di rumah, di lingkungan sekitar, dan di mana-mana," ucap dia. 

Selama ini kelihatannya semua pihak sadar akan saling kebergantungan tersebut, tetapi belum benar-benar terbangun budaya dan sistemnya. Seringkali gotong royong atau kolaborasi ini hanya jargon saja, tetapi tidak tercermin dalam sistem. Pemerintah belum sepenuhnya membantu masyarakat menjadi lebih berdaya dalam menggerakkan berbagai inisiatif untuk memperbaiki pendidikan, sehingga gotong royong masih terasa sebagai basa basi.

"Yang juga sangat penting dan perlu sekali terus dikawal oleh kita semua yang peduli pendidikan adalah fokus dari sistem pendidikan bangsa ini. Inovasi seringkali dibahas dalam dunia pendidikan. Metode baru, teknologi baru, sistem pendidikan selalu dituntut untuk merespon kebaruan, dan pemimpinnya juga seringkali terdorong untuk mengadopsinya buru-buru. Tapi tujuannya untuk apa dan untuk siapa? Anak-anak yang mana yang mendapatkan manfaatnya?"

“Anak-anak yang mana” yang saya maksud berkaitan dengan sekitar 42.5 juta anak Indonesia saat ini ada di sekolah mulai dari PAUD sampai dengan perguruan tinggi, yang sangat berbeda-beda kondisinya. Berdasarkan skor literasi PISA, sekitar 75% dari anak-anak usia 15 tahun di Indonesia belum mencapai kemampuan minimum literasi, dan yang tidak kalah pentingnya juga masih banyak anak-anak dengan disabilitas terpaksa tidak bersekolah karena kebutuhan belajar mereka tidak dapat diakomodasi sekolah. Apakah orientasi dari penggunaan inovasi dalam sistem pendidikan sudah berpihak kepada mereka?

"Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh Pemerintah perlu terus dipengaruhi masyarakat agar benar-benar berpihak kepada anak, terutama anak-anak yang sering kali ditinggal karena sistemnya lebih mementingkan teman-teman mereka yang sudah lebih dahulu mendapatkan keuntungan secara kelas sosial, budaya, abilitas, dan lokasi geografinya," ujar kakak Najwa Shihab ini. 

Menurut Najeela, kita sebagai masyarakat perlu terus membangun keberdayaan untuk mengingatkan pemerintah, memberikan umpan balik bahwa sistem ini harus memberikan manfaat yang sama kepada semua anak Indonesia. Dengan begitu inovasi yang diadopsi pemerintah perlu lebih berfokus untuk membantu anak-anak Indonesia yang paling membutuhkan agar mereka dapat belajar dengan kualitas yang sama baiknya dengan teman-teman mereka yang lebih beruntung.

Najeela Shihab/Foto: Instagram/Najeela Shihab

Membincang SDM dalam Sistem Pendidikan 

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."