CANTIKA.COM, Jakarta - Beberapa jam jelang kemerdekaan HUT RI ke-79 bisa menjadi momen yang khidmat dalam mengingat jasa para pahlawan di Indonesia. Seperti diketahui jika perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan oleh golongan laki-laki saja. Sejumlah tokoh perempuan diketahui juga ikut berjuang melawan penjajah merebut kemerdekaan baik melalui pikiran maupun tenaga.
Mulai dari Sumatra ada Cut Nyak Dien dan Cut Meutia sampai ke Indonesia Timir ada Maria Walanda Maramis dan Martha Christina Tiahahu. Lantas, siapa lagi pahlawan nasional perempuan di Indonesia? Cantika mengulas 15 profil singkat palawan nasional perempuan yang jasanya selalu melekat hingga kini.
1. Cut Meutia
Anda juga pasti tidak asing dengan sosok yang ada dalam uang pecahan seribu rupiah. Cut Nyak Meutia adalah istri dari Teuku Tjik Tunong yang sama-sama menjadi pahlawan Indonesia. Dia lahir di Kesultanan Aceh pada 15 Februari 1870 dan telah mendedikasikan diri untuk membela hak kemerdekaan rakyat melalui gerilya.
Dikenal kegigihannya dalam melawan penjajahan Belanda dan kisah asmaranya yang tragis. Ia menikah tiga kali yang mana dua suami terakhirnya tewas ketika sama-sama berperang melawan penjajahan Belanda. Di DKI Jakarta, nama Cut Meutia diabadikan sebagai nama jalan dan nama masjid di daerah Jakarta Pusat.
2. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang. jogjaprov.go.id
Raden Ajeng (R.A) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi atau yang dikenal dengan Nyi Ageng Serang merupakan seorang pahlawan Indonesia yang berjuang melawan Belanda bersama dengan Pangeran Diponegoro. Seperti dilansir dari laman Budaya.jogjaprov.go.id, Nyi Ageng Serang merupakan putri dari Pangeran Natapraja.
Pangeran Natapraja adalah seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah dan juga merupakan seorang Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I. Nyi Ageng Serang juga merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga yang juga memiliki seorang cicit yang kelak akan menjadi seorang pahlawan, yakni R.M. Soewardi Surjaningrat atau yang juga dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Seperti dilansir dari artikel yang ditulis oleh Wahyu Ida Permatasari dan Aman berjudul “Religious Example of Character Nyi Ageng Serang in 2013 Curriculum”, menyebut bahwa Nyi Ageng Serang lahir pada 1762 di sebuah desa yang terletak di Serang pada musim hujan. Masa muda Nyi Ageng Serang dihabiskan dengan menjalani pelatihan militer, lalu sempat menjadi istri dari Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Namun demikian, setelah berpisah, Nyi Ageng Serang memutuskan untuk kembali ke daerah Purwodadi dan membantu Pangeran Diponegoro dalam berperang. Saat Perang Diponegoro yang terjadi antara 1825 hingga 1830, Nyi Ageng Serang telah berusia 73 tahun.
Meskipun demikian, Nyi Ageng Serang masih gigih untuk melanjutkan perjuangannya bersama dengan cucunya, yakni R.M. Papak Nyi Ageng. Dalam Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang memiliki posisi yang strategis, yakni sebagai penasihat Pangeran Diponegoro, tidak hanya itu, Nyi Ageng Serang juga beberapa kali ditugaskan untuk memimpin pasukan dalam perang di daerah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, dan Semarang.
Nyi Ageng Serang terkenal sebagai seorang ahli strategi perang yang menggunakan strategi lembu, strategi tersebut memanfaatkan lembu atau daun talas hijau sebagai media atau alat untuk penyamaran. Selain itu, seperti dilansir dari laman Budaya.jogjaprov.go.id, Nyi Ageng Serang pernah secara langsung memimpin perang gerilya di sekitar desa Beku, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.
Nyi Ageng Serang disarankan Pangeran Diponegoro untuk berpindah mendekati Yogyakarta dan bermarkas di Prambanan, sehingga pada sisa masa hidupnya, Nyi Ageng Serang menjadi penasehat dari Sultan Sepuh atau Hamengku Buwono II. Seperti dilansir dari laman Kalibawang.kulonprogokab.go.id, pada 1838, Nyi Ageng Serang meninggal di usianya yang ke-86 tahun dan dimakamkan di bukit Traju Mas yang terletak di Padukuhan Beku, Kalurahan Banjarharjo, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
Pada 1974, Nyi Ageng Serang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden No. 084/TK/1974 tanggal 13 Desember, 1974. Selain itu, sosoknya yang memiliki integritas, nasionalisme, dan juga religius dijadikan sebagai sosok perempuan teladan pada pidato presiden pada Hari Ibu Nasional 1974.
3. Andi Depu
Andi Depu Maraddia Balanipa. Istimewa
Jasa Andi Depu Maraddia Balanipa telah dikenang dan dihargai oleh pemerintah Indonesia melalui penganugerahan gelar pahlawan nasional. Sosok Andi Depu sangat gesit, terbukti dengan aksinya yang berhasil mengibarkan bendera merah putih saat pasukan kolonial Jepang datang di Mandar 1942. Aksinya itu kemudian mendapat apresiasi melalui penghargaan Bintang Mahaputra Tingkat IV dari Soekarno.
4. Dewi Sartika
Pada 1911 bersama Dewi Sartika, Lasminingrat mendirikan sekolah perempuan bernama Sekolah Kautamaan Puteri. Karena kontribusinya yang besar terhadap pendidikan di Tanah Air dan menjadi tokoh intelektual perempuan pribumi, Lasminingrat dijuluki sebagai tokoh perempuan ‘Sang Pemula’ . Wikipedia dan Jogjaprov.go.id
Raden Dewi Sartika berjuang menjadi pelopor pendidikan kaum wanita yang saat itu dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884. Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika memprakarsai Sekolah Isteri Wanita di Pendopo Kabupaten Bandung. Kemudian, ia sempat pindah tempat tinggal di Jalan Ciguriang tahun 1910 dan kemudian mendirikan Sekolah Kaoetamaan Isteri. Alasan pendirian sekolah tersebut salah satunya agar perempuan menjadi istri yang cerdas, merdeka, dan berani.
5. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien. Wikipedia
Pahlawan wanita Cut Nyak Dhien lahir pada 1848 di Aceh. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan Aceh terkemuka yang memiliki sikap tegas dan nasionalisme tinggi. Terbukti dengan dirinya yang rela berjuang untuk membebaskan rakyat Aceh dari cengkeraman penjajah di Tanah Rencong bersama Teuku Umar. Cut Nyak Dhien juga tanpa takut memimpin perang melawan Belanda dengan segala taktiknya sebagai wanita yang cerdas.