Daftar Perempuan Peraih Nobel Perdamaian, dari Bertha von Suttner hingga Malala Yousafzai

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Malala Yousafzai memakai gaun perak rancangan Ralph Lauren menghadiri Oscar 2023 di Dolby Theatre, Amerika Serikat, pada Minggu, 12 Maret 2023. Foto: Instagram/@denagia

Malala Yousafzai memakai gaun perak rancangan Ralph Lauren menghadiri Oscar 2023 di Dolby Theatre, Amerika Serikat, pada Minggu, 12 Maret 2023. Foto: Instagram/@denagia

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kehadiran perempuan sama pentingnya dengan kehadiran pria. Seiring berjalannya waktu, banyak perempuan yang dengan berani berhasil mendobrak nilai dan batas yang mengecilkan peranan perempuan di komunitas dan masyarakat. Beberapa dari mereka bahkan berhasil mendapatkan Nobel Peace Prize atau Nobel Perdamaian.

Nobel Perdamaian merupakan bentuk apresiasi terhadap orang-orang yang karyanya telah berkontribusi signifikan terhadap resolusi konflik dan upaya persatuan dunia. Penghargaan tersebut merupakan salah satu penghargaan prestisius tingkat global. Dilansir dari Tatler Asia, berikut 11 perempuan peraih nobel perdamaian hebat yang berhasil mendapatkan Nobel Peace Prize seperti dihimpun Cantika. 

1. Bertha von Suttner

Bertha von Suttner. Dok. id.m.wikipedia.org

Nama lengkapnya Bertha Sophia Felicita Baronin von Suttner lahir pada  9 Juli 1843 nama gadisnya adalah Gräfin (Putri) Kinsky von Wchinic und Tettau, adalah seorang aktivis perdamaian asal Austria. Dia merupakan perempuan pertama pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1905. Dengan demikian, dia menjadi perempuan kedua pemenang penghargaan Nobel setelah Marie Curie pada tahun 1903. Dia digambarkan pada koin euro Austria.

Suttner lahir di Praha, Bohemia, dan merupakan anak dari seorang Letnan Jenderal (Feldmarschall-Leutnant) miskin bernama Franz de Paula Josef Graf Kinsky von Wchinitz und Tettau dan Sophie Wilhelmine von Körner. Suttner memiliki seorang kakak laki-laki bernama Arthur Franz Graf Kinsky von Wchinitz und Tettau. Ayah Suttner meninggal pada usia 75 tahun, saat dia belum dilahirkan. Masa kecilnya diisi denganmempelajari beberapa bahasa dan musik, serta melakukan banyak perjalanan.

Pada usia 30 tahun, dia menjadi pengajar di Wina, bagi empat orang anak keluarga Stuttner. Anak bungsu keluarga inilah, Arthur Gundaccar Freiherr von Suttner (1850–1902), yang kemudian menjadi suaminya pada 1876. Mereka pindah dari Wina ke daerah Kaukasus karena keluarga Stuttner tidak menyetujui pernikahan ini. Selama periode penyingkiran inilah karya-karya pertamanya dihasilkan, yaitu Es Löwos, puisi tentang kehidupan mereka berdua; empat novel; dan sebuah buku, Inventarium einer Seele [Inventory of a Soul].

Pada 1885, mereka kembali ke Austria. Di sini, Stuttner semakin banyak menghasilkan karya tulis, terutama novel. Selanjutnya mereka mengenal the International Arbitration and Peace Association di London dan lembaga sejenis di daratan Eropa. Ia berpulang pada 21 Juli 1914. 

2. Emily Greene Balch

Emily Greene Balch. Dok. en.wikipedia.org

Emily Greene Balch lahir pada 8 Januari 1867 ialah seorang akademikus, penulis, dan juru damai yang menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1946 (diterima bersama John Mott), khususnya untuk kerjanya dengan Women's International League for Peace and Freedom (WILPF).

Lahir di lingkungan Jamaica Plain, Boston dari keluarga kaya, ia adalah salah satu lulusan pertama Bryn Mawr College pada tahun 1889. Ia terus belajar sosiologi dan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, dan pada tahun 1896, ia bergabung menjadi staf di Wellesley College, menjadi profesor ekonomi dan sosiologi pada tahun 1913.

Selama Perang Dunia I, ia membantu mendirikan Liga Bangsa-Bangsa dan mencegah masuknya Amerika Serikat ke dalam konflik itu. Saat kontraknya berakhir dengan Wellesley karena kegiatan perdamaiannya, ia menjadi editor The Nation, majalah berita liberal terkenal, bertindak sebagai sekretaris WILPF (jabatan kedua pada tahun 1934 tanpa gaji selama 1,5 tahun), dan melakukan banyak kerja untuk Liga Bangsa-bangsa.

Balch pindah agama dari Unitarianisme ke Quaker pada tahun 1921. Ia tak pernah menikah. Ia meninggal setelah ulang tahunnya yang ke-94 pada 9 Januari 1961. 

3. Laura Jane Addams

Jane Addams/Foto: Doc. Wikipedia

Laura Jane Addams lahir pada 6 September 1860 adalah feminis, internasionalis dan tokoh reformasi dari Amerika Serikat. Ia lahir di Cedarville, Illinois, Amerika Serikat dan meninggal di Chicago. Ia menjalani pendidikan di Seminari Wanita Rockford, Women's Medical College, dan mendapat pendidikan di Eropa.

Jane Addams mendirikan Hull House di Chicago bersama Ellen Gates Starr pada tahun 1889. Tempat ini merupakan salah satu panti sosial yang berdiri paling awal di Amerika serikat. Pada 1912 Addams memainkan peran penting dalam pembentukan Partai Nasional Progresif, serta pembentukan Partai Perdamaian Nasional, yang kemudian menjadi ketua pada tahun 1915. 

Pada tahun yang sama ia terpilih menjadi Presiden Kongres Internasional Perempuan (Congress of Women) di The Hague, Belanda, dan Presiden Liga Internasional Perempuan untuk Perdamaian dan Kebebasan (Women's International League for Peace and Freedom) yang didirikan oleh kongres The Hague. Selain itu, ia juga menjadi delegasi dalam berbagai kongres serupa yang diadakan di Zürich (1919), Wina (1921), The Hague (1922), Washington D.C. (1942), Dublin (1926), dan Praha (1929).

Bersama dengan aktivis lain, Jane Addams masuk sebagai anggota pendiri Gabungan Kebebasan Sipil Amerika atau American Civil Liberties Union (ACLU), yaitu organisasi lobi dan litigasi non-profit yang berdiri pada tahun 1920. Pada tahun 1931 ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian, bersama dengan tokoh pendidikan Amerika, Nicholas Murray Butler. Karya-karyanya antara lain Democracy and Social Ethics (1902), Newer Ideals of Peace (1907), Twenty Years at Hull House (1910), dan The Second Twenty Years at Hull House (1930). Ia berpulang pada  21 Mei 1935.

4. Bunda Teresa

Bunda Teresa. shawncarney.org

Bunda Maria Teresa Bojaxhiu atau lebih dikenal sebagai Bunda Teresa (nama lahir Anjezë Gonxhe Bojaxhiu), yang dihormati sebagai Santa Teresa dari Kalkuta oleh Gereja Katolik setelah dikanonisasi, adalah seorang biarawati Katolik dan misionaris India berdarah Albania. Bunda Teresa lahir di Üsküb (pada masa Dinasti Utsmaniyah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Skopje pada masa Yugoslavia dan Makedonia Utara), pada tanggal 26 Agustus 1910 dan meninggal di Kalkuta, India pada tanggal 5 September 1997 saat berumur 87 tahun. 

Dia merupakan seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih di Kalkuta, India, pada tahun 1950. Selama lebih dari 47 tahun, dia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, serta membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India (yang selanjutnya berkembang di negara lain). Setelah kematiannya, dia mendapat gelar "Beata" (blessed dalam bahasa Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II.

Pada tahun 1970-an, dia menjadi terkenal di dunia internasional karena pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya, bahkan Misionaris Cinta Kasih yang didirikannya terus berkembang sepanjang hidupnya. Sebelum meninggal dunia, dia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra, dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. 

Pemerintah, organisasi sosial, dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari karyanya, namun tak sedikit pula filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang menghadapi banyak kritik. Dia menerima berbagai penghargaan, termasuk penghargaan pemerintah India Bharat Ratna (1980) dan penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1979. Bunda Teresa merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.

5. Alva Myrdal

Alva Myrdal. Dok. id.wikipedia.org

Alva Myrdal lahir pada 31 Januari 1902, seorang politikus dan diplomat Swedia. Terlahir sebagai Alva Reimer, ia menikah pada tahun 1934 dengan Gunnar Myrdal. Pada tahun 1962 ia masuk Parlemen Swedia, dan pada tahun 1962 ia dikirim sebagai delegasi Swedia pada konferensi mengenai gencatan senjata di Jenewa, dan kedudukan itu dipertahankannya hingga tahun 1973. Pada tahun 1966 ia diangkat sebagai menteri tanpa portofolio, dan jabatan itu dipegang hingga tahun 1973. Atas perannya berkontribusi dalam gencatan senjata, ia dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1982.

Pada tahun 1930, dia bersama suaminya berkontribusi dalam mempromosikan kesejahteran sosial. Keduanya menulis buku berjudul "The Population Problem and Crisis". Dia juga aktif berdiskusi mengenai permasalahan perumahan dan sekolah.

Dia juga aktif dalam negosiasi Jenewa. Perannya sebagai pemimpin kelompok negara-negara nonblok sangatlah penting. Kontribusinya dalam negosiasi tersebut adalah menekan kedua negara nonblok untuk sama-sama melakukan perlucutan senjata secara konkret.

Setelah pensiun, dia kembali ke bidang pendidikan dan mengajar sosiologi di beberapa sekolah Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya, dia berkontribusi dalam pembentukan 'Stockholm International Peace Research' (SIPRI). Dia juga menerbitkan beberapa karya terkenal di bidang perlucutan senjata, terinspirasi dari pengalaman kariernya. 

Beberapa karya non-fiksinya adalah 'Nation and Family' (1965), 'Women's Two Roles' (1968), 'War, Weapons and Everyday Violence' (1977), dan 'Dynamics of European Nuclear Disarmament' (1981). Karyanya yang berjudul 'The Game of Disarmament: Bagaimana Amerika Serikat dan Rusia Menjalankan Perlombaan Senjata' dianggap sebagai salah satu karyanya yang terkenal di bidang pelucutan senjata. Ini mengungkapkan kekecewaannya atas keengganan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk mempromosikan pelucutan senjata. Ia berpulang pada 1 Februari 1986.

6. Rigoberta Menchú

Rigoberta Menchú. Dok. en.wikipedia.org

Rigoberta Menchú Tum lahir 9 Januari 1959 berasal dari kelompok etnis Maya (cabang Quiche) dan sejak masa mudanya aktif dalam pergerakan pelestarian budaya Maya. Ia dari keluarga petani India yang tinggal di daerah dataran tinggi utara. Ia telah terlibat dengan salah satu gerakan reformasi sosial dalam gerakan hak-hak perempuan dan kegiatan Gereja Katolik untuk memperkenalkan reformasi sosial. .

Ia banyak mengikuti kegiatan reformasi yang memiliki konsekuensi tinggi dan menimbulkan berbagai pengaruh kepada orang sekitarnya. Termasuk kepada keluarganya (keluarga Menchu), ayah Rigoberta bernama Vicente dipenjara dan disiksa atas tuduhan keikutsertaannya dalam kegiatan gerilya. Pada akhirnya ia dibebaskan dan selama perang saudara berikutnya di Guatemala, ia terjebak dan meninggal dalam peristiwa kebakaran saat proses memprotes pelanggaran hak asasi manusia oleh militer.

Gerakan Rigoberta berlanjut hingga tahun 1979 ia bergabung dengan CUC (Komite Serikat Petani) mengikut jejak sang ayah. Dalam tahun yang sama saudara laki-lakinya ditangkap, disiksa dan dibunuh oleh tentara. Tak lama, ibunya meninggal setelah diculik, diperkosa, dimutilasi, dan dibunuh oleh tentara. Menchú melarikan diri dan pergi ke Meksiko pada tahun 1981 dan mengalami perawatan dari kelompok liberal Katolik Roma.

Beberapa kejadian memacu Rigoberta untuk semakin aktif di CUC dengan melakukan aksi mogok dalam rangka memperbaiki kondisi pekerja pertanian di pantai Pasifik dan mempelajari bahasa Maya, Spanyol, dan Quiche. Pada 1 Mei 1981, dia mengikuti demonstrasi besar di ibu kota dengan aktif. Bahkan ia pernah bergabung dengan Front Populer untuk mendukung penduduk petani India melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan oleh militer. Ia bekerja sebagai aktivis yang berkampanye mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Guatemala selama Perang Saudara yang berlangsung dari 1960 hingga 1996.

Pada tahun 1982 ia berhasil bergabung dalam The United Representation of Guatemala Opposition (RUOG) yang merupakan badan oposisi gabungan. Perjalanannya yang menarik membuat dirinya diperkenalkan melalui buku secara Internasional berjudul bahasa Inggris "I, Rigoberta Menchú", pada tahun 1983. Dalam bukunya terkandung cerita mendetail tentang apa saja hal yang telah ia alami termasuk perlakuan tentara terhadap ibu dan saudara laki-lakinya.

Tiga hingga empat tahun kemudian ia menaiki jabatan Komite Koordinasi Nasional CUC dan berhasil menjadi narator film dengan judul When the Mountains Tremble, yang berkisahkan mengenai perjalanan penuh liku orang Maya. Ia hanya tiga kali mengungjungi Guetamala, ia menghabiskan banyak waktunya di tempat pengasingan karena tingginya ancaman keamanan dan kesalamatan. 

Rigoberta Menchú menerima penghargaan Nobel Perdamaian pada 1992. Namanya telah dikenal luas sebagai perempuan terkemuka yang proaktif membela hak-hak India. Hadiah yang dia dapat dibalik penghagaan tersebut diguanakan untuk mendirikan organisasi India bernama Rigoberta Menchú Tum Foundation.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."