7. Jody Williams
Jody Williams. Dok. id.wikipedia.org
Jody Williams lahir 9 Oktober 1950, ialah seorang guru dan pekerja sosial Amerika Serikat yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian 1997 bersama dengan gerakan yang dipimpinnya, International Campaign to Ban Landmines (ICBL) (Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat). Williams mula-mula belajar sebagai guru English as a Second Language (ESL). Ia menerima gelar BA dari Universitas Vermont pada 1972 dan gelar magister dalam mengajar bahasa Spanyol dan ESL dari School for International Training (juga di Vermont) pada 1974.
Pada 1984 ia menerima gelar magister ke-2 dalam Hubungan Internasional dari School of Advanced International Studies di Universitas Johns Hopkins. Ia mengajar ESL di Meksiko, Britania Raya, dan akhirnya Washington, D.C. sebelum ditunjuk untuk bekerja dalam program bantuan, menjadi koordinator "Proyek Pendidikan Nikaragua-Honduras" dari 1984 hingga 1986. Lalu ia menjadi wakil direktur badan amal yang berbasis di Los Angeles, "Medical Aid for El Salvador". Jabatan ini i dipegangnya hingga 1992 ketika ia pindah ke ICBL yang baru dibentuk.
Akhirnya organisasi itu mencapai tujuannya pada 1997 saat sebuah perjanjian internasional (Perjanjian Ottawa) melarang ranjau darat anti manusia yang ditandatangani di Ottawa pada 1997 (meski beberapa negara, khususnya Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia belum menandatanganinya).
Satu aspek yang lebih luas dari karya Williams ialah rintisannya dalam menggunakan Kekuatan Rakyat: kerja sama yang meluas dan besar-besaran dalam aksi politik trans-nasional, awalnya melalui fax dan akhirnya melalui e-mail, demikian dijelaskan oleh Williams sendiri,
8. Shirin Ebadi
Shirin Ebadi. (TEMPO/ Mohamad Irfanto)
Shirin Ebadi lahir pada 21 Juni 1947 adalah pengacara dan aktivis hak asasi manusia asal Iran. Pada 10 Oktober 2003, ia dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian untuk usahanya dalam penegakan demokrasi dan hak asasi, terutama hak-hak wanita dan anak-anak. Ia merupakan tokoh Iran dan muslimah pertama yang menerimanya.
Shirin Ebadi dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel untuk keberaniannya bagi demokrasi dan hak asasi manusia pada tanggal 10 Oktober 2003. Panitia seleksi memujinya sebagai "pemberani" yang "tidak pernah tunduk pada ancaman terhadap dirinya". Penganugerahan ini oleh sebagian pengamat dinilai sebagai kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah, terutama Perang Irak. Sebelumnya, George W. Bush juga menyebut Iran sebagai "poros setan".
Tidak lama setelah pengumuman itu, Ebadi menyatakan dalam konferensi pers bahwa ia menolak segala bentuk intervensi asing dalam masalah negara Iran. Ia menyatakan bahwa perjuangan hak asasi di Iran dilakukan oleh rakyat Iran dan mereka menolak intervensi asing di Iran. Selain itu, ia juga membela program nuklir negaranya dengan alasan ekonomi dan kebanggan bangsa Iran, terlepas dari ideologi yang dianutnya.
9. Wangari Maathai
Wangari Maathai. REUTERS/Casper Christoffersen
Dr. Wangari Muta Maathai lahir pada 1 April 1940 adalah seorang aktivis lingkungan hidup dan politik. Pada tahun 2004, ia menjadi wanita asal Afrika pertama yang dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian untuk kontribusinya dalam bidang pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian. Ia merupakan anggota Parlemen Kenya serta pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam pemerintahan Presiden Mwai Kibaki antara Januari 2003 sampai November 2005.
Dr. Maathai lahir di Desa Ihithe, Divisi Tetu, Distrik Nyeri, Kenya dalam keluarga etnis Kikuyu. Ia mendapat gelar sarjana dalam biologi dari Benedictine College, Atchison pada tahun 1964 dan kemudian dilanjutkan di Universitas Pittsburgh sebelum kembali ke Nairobi. Di Universitas Nairobi, ia mendapat gelar Ph.D. pertama bagi wanita asal Afrika Timur dalam bidang kedokteran hewan. Ia menjadi dosen anatomi hewan di universitas tersebut pada 1971 dan kemudian menjadi dekan. Pada tahun 2002, ia menerima posisi sebagai Visiting Fellow di Institut Global untuk Kehutanan Berkelanjutan Universitas Yale.
Wangari Maathai ialah ibu dari 3 anak: Waweru, Wanjira and Muta. Pada tahun 1980-an, ia diceraikan suaminya, Mwangi Mathai, yang mengatakannya "terlalu terdidik, terlalu kuat, terlalu berhasil, dan terlalu sulit dikendalikan." Ia kemudian dijebloskan ke penjara karena menentang hakim serta dilarang menggunakan nama suaminya lagi. Sebagai penolakan, ia hanya mengubah namanya dengan menambahkan satu huruf "a" menjadi Maathai. Ia berpulang pada 25 September 2011.
10. Ellen Johnson Sirleaf
Ellen Johnson Sirleaf Dok. https://dunia.tempo.co
Ellen Johnson Sirleaf lahir pada 29 Oktober 1938 adalah Presiden Liberia ke-24 yang menjabat dari 2006 hingga 2018. Dia menjabat sebagai Menteri Keuangan di bawah Presiden William Tolbert dari tahun 1979 sampai kudeta tahun 1980. Kemudian, ia meninggalkan Liberia dan memegang posisi senior di berbagai lembaga keuangan. Dia meraih posisi kedua pada pemilu presiden 1997. Kemudian, ia terpilih sebagai Presiden pada pemilu presiden 2005 dan menjabat presiden pada tanggal 16 Januari 2006. Sirleaf adalah perempuan pertama yang hingga saat ini menjabat kepala negara/presiden di Afrika.
Sirleaf dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2011 bersama dengan Leymah Gbowee dari Liberia dan Tawakel Karman dari Yaman. Para wanita yang diakui "untuk non-kekerasan perjuangan mereka untuk keselamatan perempuan dan hak-hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam pembangunan perdamaian bekerja.
Namun, hal ini telah menghasilkan kontroversi di Liberia seperti yang telah ditafsirkan oleh para kritikus politik bahwa hadiah yang diberikan Sirleaf memiliki sebuah "keuntungan yang tidak adil" mengingat penganugerahan itu mendekati pemilihan umum Presiden Liberia yang dijadwalkan pada 11 Oktober 2011.
Meskipun bukan merupakan keturunan Americo-Liberia, Sirleaf oleh beberapa pengamat dianggap sebagai Americo-Liberia. Namun, Sirleaf tidak memperkenalkan dirinya seperti itu. Latar belakang etnis Sirleaf adalah 1/2 Gola dari sisi ayahnya, dan 1/4 Jerman (kakek) dan 1/4 Kru (nenek) dari sisi ibunya.
11. Malala Yousafzai
Malala Yousafzai dinobatkan menjadi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Termuda sekaligus pemenang Hadiah Nobel Termuda oleh Guinnes World Records. Pada 2014, Malala memeroleh penghargaan Nobel tersebut ketika dirinya berusia 17 tahun. REUTERS
Malala Yousafzai lahir pada 12 Juli 1997 adalah seorang aktivis HAM berkebangsaan Pakistan dari kota Mingora, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Ia merupakan pejuang pendidikan dan hak-hak perempuan di Lembah Swat, tempat Tehrik-i-Taliban Pakistan melarang perempuan bersekolah. Pada awal tahun 2009, saat berumur sekitar 11 dan 12, Yousafzai menulis di blognya di bawah nama samaran untuk BBC secara mendetail tentang betapa mengerikannya hidup di bawah pemerintahan Taliban, upaya mereka untuk menguasai lembah, dan pandangannya tentang mempromosikan pendidikan untuk anak perempuan.
Pada tahun 2014, ia bersama Kailash Satyarthi dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian atas perjuangan mereka melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan hak pendidikan bagi mereka. Ketika dianugerahkan Penghargaan Nobel saat ia berusia 17 tahun, Malala merupakan orang paling muda di dunia yang mendapatkan penghargaan Nobel.
Malala lahir dari keluarga bersuku Pashtun dan menganut Islam Sunni. Namanya diambil dari penyair dan pejuang wanita suku Pashtun, Malalai dari Maiwand. Ia dibesarkan di Mingora, bersama dua adik laki-laki. Keberaniannya dalam menulis berkat bimbingan ayahnya yang juga penyair, pemilik sekolah, sekaligus aktivis pendidikan. Ayahnya menjalankan beberapa sekolah yang dinamai Khushal Public School. Meskipun Malala mengaku ingin jadi dokter, Ayahnya mendorongnya untuk menjadi politisi.
Ia mulai berbicara di depan publik untuk memperjuangkan hak atas pendidikan pada tahun 2008. "Berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas pendidikan!" adalah seruan pertamanya di depan televisi dan radio.
Pada tanggal 9 Oktober 2012, Yousafzai ditembak di kepala dan leher dalam upaya pembunuhan oleh kelompok bersenjata Taliban ketika kembali pulang di bus sekolah. Ia sempat dirawat di Pakistan sebelum akhirnya diterbangkan ke Inggris untuk dirawat di rumah sakit di Birmingham.
Pimpinan Taliban, Adnan Rasheed, mengiriminya surat yang menjelaskan bahwa alasan penembakan adalah sikap kritisnya terhadap kelompok militan, bukan karena ia seorang penggiat pendidikan perempuan. Lebih lanjut Rasheed mengungkapkan penyesalannya atas kejadian ini namun tidak meminta maaf atas penembakan yang dialami Malala Yousafzai. Ia juga menyarankan Malala kembali ke Pakistan dan meneruskan pendidikan di Madrasah bagi perempuan
Pilihan Editor: Malala Yousafzai Jadi Bintang Sampul Vogue
NOBEL PRIZE | WIKIPEDIA
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika
Halaman