Daftar Perempuan Peraih Nobel Sains dan Kedokteran, Marie Curie hingga Tu Youyou

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Marie Curie (Foto/Wikipedia)

Marie Curie (Foto/Wikipedia)

IKLAN

6. Rosalyn Sussman Yalow

Rosalyn Sussman Yalow. Dok. Wikipedia

Rosalyn Sussman Yalow, lahir tahun 1921, menjadi wanita kedua yang berhasil memenangkan Penghargaan Nobel dalam Kedokteran pada tahun 1977. Pencapaiannya adalah pengembangan radioimmunoassay (RIA), sebuah penerapan fisika nuklir dalam kedokteran klinik yang memungkinkan para ilmuwan menggunakan pelacak radiotropi untuk mengukur kadar ratusan zat farmakologis dan biologis dalam darah dan cairan lain tubuh manusia serta pada binatang dan tumbuhan. 

Ia menemukan teknik ini pada tahun 1959 untuk mengukur jumlah insulin dalam darah orang dewasa penderita kencing manis. Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran tersebut dibagi bersama dengan Roger C.L. Guillemin dan Andrzej Schally.

Rosalyn lahir dari orang tua Yahudi, Clara dan Simon Sussman. Sejak usia 8 tahun, Rosalyn ingin menjadi seorang ilmuwan walaupun dia hidup pada era dunia yang melarang perempuan memiliki karier dalam dunia sains. Ketertarikannya dalam dunia fisika timbul setelah membaca biografi Marie Curie, pemenang dua Nobel atas temuannya terhadap radioisotop. 

Ia menempuh pendidikan di sekolah negeri New York City. Saat menempuh pendidikan di Walton High School, seorang guru kimianya mendorong Rosalyn untuk mengembangkan diri di bidang sains. Ia lulus dari Hunter College dan kemudian melamar di Universitas Purdue untuk belajar di bidang fisika. Namun, Rosalyn ditolak dengan alasan seorang wanita tidak akan pernah diterima di fakultas fisika. Oleh karena itu, Rosalyn hanya mendapatkan tawaran sebagai sekretaris di Sekolah Bedah dan Kedokteran, bagian dari Universitas Columbia, dan bila dia bersikap baik maka dijanjikan dapat bersekolah disana.

Rosalyn kemudian bertemu A. Aaron Yalow, seorang mahasiswa fisika yang merupakan anak seorang rabbi dan mereka menikah pada tanggal 6 Juni 1943. Mereka kembali ke New York di mana mereka menjabat sebagai dosen di bidang fisika, yang dipegangnya hingga tahun 1950. Pasangan tersebut memiliki 2 anak yang bernama Benjamin dan Elanna.

Setelah Perang Dunia II, kesempatan bagi seoarang wanita untuk berkarier di dunia akademis mulai terbuka. Rosalyn kemudian bekerja di Fakultas Teknis, Universitas Illinois. Kepindahannya ke Champaign-Urbana, Illinois, menjadikannya wanita pertama yang bergabung dalam fakultas teknik dalam kurun waktu 24 tahun. 

Sebagai satu-satunya wanita di antara 400 orang pengajar dan pekerja fakultas, Rosalyn mendapatkan tekanan yang berat untuk membuktikan kemampuannya. Ketika dia mendapatkan nilai A-minus di dalam salah satu pelajaran laboratorium, kepala departemen Universitas Illinois menyatakan bahwa nilai tersebut membuktikan wanita tidak dapat bekerja dengan sempurna di laboratorium. Hal ini membuat Rosalyn marah dan semakin terpacu.

Rosalyn mendapatkan gelar doktoral di bidang fisika nuklir pada tahun 1945 dan mengajar di Hunter College pada tahun berikutnya. Ketika dia tidak mendapatkan tawaran di bidang riset, Rosalyn bekerja secara sukarela di laboratorium medis, Universitas Colombia dan disinilah untuk pertama kalinya, Rosalyn mengenai radioterapi. Setelah itu, Rosalyn pindah ke Bronx Veterans Administration Hospital (sekarang menjadi James J. Peters Veterans Affairs Medical Center) pada tahun 1947 sebagai pekerja paruh waktu dan kemudian menjadi pekerja tetap pada tahun 1950.

Di sanalah, Rosalyn berkenalan dengan Dr. Berson yang akan menjadi rekannya selama 22 tahun. Mereka berdua mencoba menggunakan radioisotop untuk mendeteksi hormon yang konsentrasinya sangat rendah di dalam tubuh sehingga pada masa itu merupakan hal yang sangat sulit atau bahkan dianggap tidak mungkin. Ketika Rosalyn dan Dr. Berson mempublikasikan penemuannya terhadap insulin, penemuan tersebut menghadapi penolakan karena hanya sedikit ilmuwan yang menyakini bahwa antibodi dapat mendeteksi insulin yang berukuran sangat kecil. Namun akhirnya, penelitian tersebut diterima oleh The Journal of Clinical Investigation. Teknik yang ditemukan oleh Rosalyn bersama dengan Dr. Solomon A. Berson ini telah menandai abad baru dalam dunia endokrinologi.

Bersama dengan Dr. Berson, Rosalyn juga berhasil membuktikan bahwa penderita diabetes mellitus tipe 2 memproduksi lebih banyak insulin daripada orang normal. Sehingga penelitian ini membuktikan ketidakmampuan pasien menggunakan insulin sebagai penyebab diabetes. Peneliti lain di rumah sakit tempat Rosalyn bekerja juga melakukan modifikasi pada immunoassay temuannya untuk mendeteksi hormon, vitamin B12, dan virus hepatitis B.

Rosalyn diangkat ke kedudukan yang lebih tinggi dan bertanggung jawab di RS VA selama tahun-tahun itu. Pada tahun 1976, ia menjadi wanita pertama yang memenangkan Albert Lasker Award for Basic Medical Research.

Dr. Rosalyn Yalow juga menyadari perannya sebagai sebagai wanita dan seorang Yahudi. Setelah ia menerima Hadiah Nobel, "Ladies Home Journal" menginginkannya menerima penghargaan khusus wanita. Dengan ramah ia menolak tawaran itu, yang dianggapnya sebagai kutipan "ghetto" karena ia merasa sebagai wanita brilian, bukan ilmuwati brilian.

Dr. Rosalyn Yalow adalah rambu dan pemandu bagi para wanita muda dalam mencapai kedudukan dan pengakuan dalam hidup. Sepanjang hidupnya ia telah menunjukkan bahwa tiap wanita berhak mendapat profesi terkemuka seperti memiliki keluarga yang baik dalam kehidupannya.

7. Barbara McClintock

Barbara McClintock. Wikipedia

Barbara McClintock lahir pada 16 Juni 1902, seorang ilmuwan asal Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai pakar sitogenetika serta etnobotani, dan menghabiskan banyak waktu di Meksiko serta Amerika Selatan mengkaji pertanian jagung yang diusahakan oleh suku Indian. Ia menerima Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada Oktober 1983 untuk jerih-payahnya dalam menyingkap keberadaan transposon (jumping gene).

Barbara McCintock dilahirkan di Hartford, Connecticut, USA pada tanggal 16 Juni 1902 dengan nama baptis Eleanor McClintock. Namun, orangtuanya segera mengganti namanya menjadi Barbara karena nama Eleanor dirasa terlalu feminim untuk anaknya. Barbara merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Thomas Henry McClintock dan Sara Handy. Ayahnya adalah seorang ahli fisika yang berasal dari keluarga dokter yang datang ke Amerika dari Britania. Ibunya berasal dari keluarga kelas atas, ia adalah seorang ibu rumah tangga, penyair dan artis. 

Hubungan antara Barbara dan Ibunya tidak terlalu baik, sekitar umur 3 atau 5 tahun, Barbara tinggal bersama paman dan bibinya di Massachusetts untuk mengurangi stress yang dialami Ibunya. Ia kemudian kembali tinggal bersama orang tuanya di Hartford untuk memulai sekolah. Pada tahun 1908, seluruh keluarganya pindah ke Brooklyn, Newyork. Di Brooklyn's Erasmus Hall High School, gurunya menilai Barbara sebagai anak yang sangat cerdas dan mungkin ditakdirkan sebagai profesor. Namun, hal ini ditolak oleh Ibunya dengan alasan bahwa menjadi profesor perempuan akan menjadikan Barbara sebagai orang aneh dan tidak akan ada yang mau menikahinya, sehingga Barbara tidak diijinkan untuk menempuh kuliah.

Pada September 1919, Ayah Barbara dapat mengatasi penolakan istrinya, di umur Barbara yang ke 17 tahun, Barbara mendaftarkan dirinya ke Universitas Cornell, Ithaca, New York. Di sana, ia bergabung dalam band jazz dan terpilih sebagai presiden dari kelas mahasiswa baru perempuan.

Barbara mengambil kuliah genetik pertamanya pada tahun 1921. Keahliannya dalam bidang ini menjadi perhatian gurunya, Claude Hutchison yang merekomendasikannya untuk langsung mengambil kuliah tingkat pascasarjana. Setelah menerima gelar sarjana sains di bidang agrikultur pada tahun 1923, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah pascasarjana.

Pada tahun 1925, McClintock mendapatkan gelar master sains bidang botani, kemudian pada tahun 1927 mendapatkan gelar doktor di bidang botani, keduanya didapatkan dari Cornell. Gelar master dan doktoralnya melibatkan penelitian di bidang genetika tanaman yang menjadi fokus risetnya selama hidupnya. Setelah McClintock menyelesaikan program doktornya, Cornell menunjuknya sebagai pengajar di Departemen Botani.

McClintock berfokus pada Sitogenetika tanaman yang artinya ia menggunakan mikroskop untuk meneliti genetika tanaman pada tingkat sel -- kromosom, potongan kode genetika yang berada di dalam sel. Dibandingkan dengan metode genetika tradisional, sitogenetika lebih mengungkapkan rahasia kehidupan. Metode genetika tradisional melibatkan perkembangbiakan organisme dan meneliti perbedaanya dengan mata biasa. Riset yang dilakukan oleh Gregor Mendel tentang keturunan merupakan contoh dari metode genetika tradisional. Sitogenetika mencakup segala hal yang dilakukan metode genetika tradisional, dengan menambahkan observasi terhadap perubahan sel.

McClintock meninggal dunia pada 2 September 1992 di umur 90 tahun tanpa pernah menikah.

8. Gertrude Elion

Gertrude Elion. Wikipedia

Gertrude Belle Elion lahir di New York City tahun 1918 ialah biokimiawati Amerika Serikat. Ia adalah salah satu penerima Hadiah Nobel Kedokteran (1988), bersama dengan James Whyte Black dan George Hitchings, atas jasanya merancang studi yang menimbulkan perumusan banyak obat-obatan baru yang kini digunakan untuk menghambat proses leukemia.

Elion adalah putri dari orang tua imigran. Ia lulus dari Hunter College di New York dengan gelar di bidang biokimia pada tahun 1937. Tidak dapat memperoleh posisi peneliti pascasarjana, ia bekerja sebagai asisten laboratorium di New York Hospital School of Nursing (1937), seorang asisten kimia organik di Denver Chemical Manufacturing Company (1938-1939), seorang kimiawan dan guru fisika di New York City High School (1940-1942), dan seorang peneliti kimia di Johnson & Johnson (1943-1944). 

Selama periode ini, ia juga mengikuti beberapa kelas di New York University (Magister of Science, 1941). Tidak dapat mengikuti kelas penuh, Elion tidak pernah menerima gelar Doktornya. Pada tahun 1944 Elion bergabung dengan Burroughs Wellcome Laboratories (yang kemudian menjadibagian dari Glaxo Wellcome, yang sekarang dikenal sebagai GlaxoSmithKline). Disana dia menjadi asisten pertama dan rekan dari Hitchings, dan menjadi rekan kerjanya selama bertahun-tahun. Elion dan Hitchings mengembangkan berbagai obat-obatan baru yang efektif melawan leukemia, kelainan imun, infeksi saluran kemih, encok, malaria, dan virus herpes. 

Keberhasilan mereka sebagian besar dipengaruhi oleh metode penelitian mereka yang inovatif, yang menandai keberangkatan radikal dari pendekatan kemungkinan yang dilakukan oleh farmakologis terdahulu. Elion dan Hitchings secara pasti mempelajari perbedaan biokimia dari sel manusia normal dan sel kangker, bakteria, virus, dan faktor penyebab penyakit lainnya. 

Mereka kemudian menggunakan informasi ini untuk memformulasikan obat-obatan yang bisa membunuh atau mengurangi reproduksi dari patogen tertentu, meninggalkan sel-sel inang manusia yang tidak rusak. Kedua peneliti menekankan pada pengertian dasar biokimia dan proses psikologikal memungkinkan mereka untuk mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan dan usaha sia-sia yang sebelumnya menghambat proses pengembangan obat-obatan.

Meski Elion secara resmi berhenti pada tahun 1983, ia memantau pengembangan Azidothymidine (AZT), obat pertama yang digunakan sebagai perawatan AIDS. Pada tahun 1991, dia dianugerahkan dengan medali sains nasional dan menjadi wanita pertama yang dipilih ke National Inventor's Hall of Fame (1991).

Revolusi penelitian milik Gertrude Elion keduanya membawa perkembangan pada bidang farmasi dan obat-obatan. Sebelumnya, bidang farmasi di produksi menggunakan bahan-bahan alami. Pada periode 1950-an, Gertrude Elion, bersama George Hitchings, mengembangkan metode sistematis untuk menghasilkan obat-obatan berdasarkan dari pengetahuan biokimia. Salah satu obat pertama yang diproduksi oleh mereka adalah obat untuk leukemia, dan menolong banyak anak penderita untuk bertahan. Obat lainnya yang di ciptakan telah digunakan untuk melawan malaria, infeksi, encok, juga transplantasi organ.

9. Christiane Nüsslein-Volhard

Christiane Nusslein-Volhard. Wikipedia

Christiane Nüsslein-Volhard, lahir 20 Oktober 1942 di Magdeburg, Jerman adalah biolog Jerman. Ia memenangkan Penghargaan Albert Lasker untuk Penelitian Kedokteran Dasar pada 1991 dan pada 1995 bersama dengan Eric Wieschaus dan Edward B. Lewis, atas karyanya pada penelitian kontrol genetik pada pertumbuhan embrio mengantarkannya memenangkan Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran. Pada 1985, Christiane Nüsslein-Volhard menjadi direktur Institut Max Planck untuk Biologi Perkembangan. Universitas Oxford menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa pada Juni 2005.

Sebagai salah satu anak dari lima bersaudara dengan keluarganya yang pecinta seni, Christiane kecil yang saat itu masih berusia 12 tahun, lebih tertarik belajar di bidang alam dan hayati, bertolak belakang dengan ayahnya yang berprofesi sebagai arsitek. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Geothe di Frankfurt, tetapi tidak lama kemudian ia pindah ke Universitas Tübingen untuk mempelajari biokimia sebelum akhirnya lulus dari Institut Max Planck. Ia pernah bekerja sebagai peneliti di Laboratorium Biologi Molekuler Eropa di Heidelberg dan kembali ke Institut Max Planck pada tahun 1984.

Christiane Nüsslein-Volhard bersama dengan temannya, Eric Wieschaus, mempelajari perkembangan lalat buah. Sekitar tahun 1980, mereka berhasil mengidentifikasi dan mengklasifikasikan 15 gen lalat yang dapat mengarahkan sel untuk langsung membentuk lalat baru. Pada tahun 2004, Christiane Nüsslein-Volhard berhasil mendirikan CNV-Foundation untuk mendukung perkembangan pendidikan wanita dan anak di bidang sains. Pada tahun 2010, ia terpilih sebagai wakil rektror Pour Le Mérite.

10. Linda B. Buck

Linda B Buck. Wikipedia

Linda Brown Buck, lahir 29 Januari 1947 adalah biolog Amerika yang banyak terkenal untuk karyanya pada sistem penciuman. Linda tertarik mendalami ilmu biologi ketika sedang menempuh studi imunologi di Universitas Washington. Setelah berhasil meraih gelar di bidang mikrobiologi pada 1975, ia kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di bidang imunologi di Universitas Texas pada tahun 1980. Linda kemudian memulai kariernya di Universitas Colombia dan bekerjasama dengan Richard Axel. pada tahun 1991, hasil kolaborasi mereka menghasilkan banyak penemuan baru mengenai kode DNA dalam sistem penciuman. Ia dan Richard Axel memenangkan Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 2004 untuk karya mereka pada reseptor penciuman.

Buck menerima gelar sarjana sains (B.S atau B.Sc, atau dalam bahasa Indonesia S.Si) pada tahun 1975 di bidang mikrobiologi dan psikologi dari Universitas Washington dan gelar doktor (P.hD) pada tahun 1980 di bidang imunologi dari Pusat Kedokteran Universitas Texas Barat Daya. Pada awal tahun 1980, di Universitas Columbia di New York, Buck bekerja dengan Axel untuk pertama kalinya. Saat itu, Axel adalah profesor dan Buck adalah murid pascadoktoral. Buck memegang bermacam posisi di Institut Ilmu Kedokteran Howard Hughes dan di Sekolah Ilmu Kedokteran Harvard sejak tahun 1984 hingga tahun 2002, ketika ia mengikuti Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson di Seattle.

Pada tahun 1991, Buck dan Axel menerbitkan sebuah jurnal ilmiah berdasarkan penelitian yang mereka lakukan dengan tikus laboratorium, yang menjelaskan secara detail penemuan famili 100 gen yang mengodekan sejumlah reseptor penciuman yang setara. Reseptor ini adalah protein yang bertanggung jawab untuk mendeteksi molekul bau di udara dan berlokasi di sel reseptor penciuman, terkelompok di sebuah area kecil di belakang rongga hidung. 

Buck dan Axel lalu mengklarifikasi bagaimana sistem penciuman bekerja dengan menunjukkan bahwa setiap sel reseptor hanya memiliki satu tipe reseptor bau, yang terspesialisasi untuk mengenali beberapa bau. Setelah molekul bau melekat pada reseptor, sel reseptor mengirimkan sinyal listrik ke dalam saraf olfaktori di otak, lalu otak melakukan kombinasi terhadap informasi dari berbagai tipe reseptor dengan pola spesifik yang diterjemahkan sebagai bau yang berbeda.

Axel dan Buck menyatakan bahwa sebagian besar detail yang mereka temukan tentang indra penciuman identik untuk tikus, manusia, dan binatang lain, meskipun mereka menemukan pula bahwa manusia haya memiliki 350 tipe reseptor olfaktori yang bekerja, hanya sepertiga dari sejumlah reseptor olfaktori pada tikus. 

Meskipun demikian, gen yang mengode reseptor olfaktori pada manusia menyumbang sekitar 3% dari keseluruhan gen manusia. Pekerjaan Axel dan Buck mendorong minat ilmiah untuk meneliti kemungkinan eksistensi feromon pada manusia, molekul bau yang diketahui memicu aktivitas seksual dan berbagai perilaku lain pada banyak hewan, dan laboratorium Buck di Institut Ilmu Kedokteran Howard Hughes melakukan penelitian mengenai bagaimana persepsi bau diterjemahkan menjadi respons emosional dan perilaku instingtif.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."