Daftar Pelukis Perempuan Indonesia, dari Kustiyah hingga Hana Madness

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Hana Madness. Instagram/hanamadness

Hana Madness. Instagram/hanamadness

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kendati dunia seni disesaki oleh pria, namun jangan lupa jika perempuan juga berperan penting bagi perkembangan seni lukis tanah air dari masa ke masa. Pelukis perempuan Indonesia berkarya dengan berbagai macam pesan dan gaya seninya masing-masing, dan membahas topik yang relevan bagi pribadi dan generasi pada masanya. 

Berikut daftar pelukis perempuan Indonesia yang dihimpun Cantika: 

1. Kustiyah

Lukisan berjudul Potret Diri karya Kustiyah. Foto: Carnegie Museum of Art

Kustiyah lahir di Probolinggo. Ia belajar di Akademi Seni Rupa ASRI di Yogyakarta (sekarang Institut Seni Indonesia, Yogyakarta) dan melanjutkan karyanya sebagai bagian dari kelompok Pelukis Rakyat dan Pelukis Indonesia. Sebagian besar karya formatifnya—baik lanskap maupun still life dan potret—menggambarkan pemandangan dari kehidupan sehari-hari dan dilukis di luar studio.

Kustiyah adalah salah satu dari sedikit pelukis wanita yang berkarya pada saat itu. Awalnya, karyanya dikoleksi oleh lembaga-lembaga pemerintah besar, termasuk Galeri Nasional Indonesia. Ia berpartisipasi dalam pameran seni lukis dan patung pertama yang khusus menampilkan karya perempuan pada tahun 1956, yang diadakan di studio Seniman Indonesia Muda di Yogyakarta.

Sepanjang kariernya, ia secara konsisten berpartisipasi dalam pameran seni kelompok di Jakarta dan Yogyakarta dan termasuk di antara rekan-rekannya, seperti Kartika Affandi, Siti Ruliyati, serta yang lainnya yang membentuk IKAISYO/Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta (Ikatan Istri Seniman Yogyakarta). Perjalanan Kustiyah sebagai pelukis bermula dari ASRI, Sanggar Pelukis Rakyat, serta Pelukis Indonesia. 

Kesehatannya yang memburuk akhirnya membatasi visibilitas publiknya serta karyanya, tetapi ia terus melukis hingga pertengahan tahun 2000-an.

Setelah Kustiyah meninggal, suaminya, pematung terkenal Edhi Sunarso, membangun museum pribadi untuk menghormatinya, yang disebut Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, yang menampung banyak koleksi lukisannya hingga hari ini.[4] Ketika ia meninggal pada tahun 2016, ia dimakamkan di samping suaminya Edhi Sunarso di Pemakaman Seniman Girisapto Imogiri di Bantul, Yogyakarta.

Kustiyah dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang lembut, kontras dengan seni lukisnya. Karya-karyanya dominan dengan garis tajam dan sapuan warna yang kasar. Melalui pendekatan artistiknya yang khas, ia melukiskan lingkungan hidup di sekitarnya, mengubah pemandangan alam yang familiar dan bersahaja menjadi ungkapan rupa yang bergejolak dan penuh energi. 

2. Ruliyati

Ruliyati dikenal memiliki estetika rupa yang serba kontras. Sapuan pensilnya kuat, tegang, kaku, dan keras, tapi komposisinya begitu lembut dan feminin. Alumni ASRI angkatan pertama ini menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat dalam seluruh kekaryaannya. Gambar-gambarnya diakrabi publik melalui sejumlah majalah, seperti Budaya Jaya, Indonesia, dan Zenith. Ruliyati hidup dari praktik artistiknya, mulai dari melukis, menggambar dan berjualan kartu pos serta kartu ucapan, sampai membuka kursus melukis.

Saat menjadi mahasiswa, Ruliyati banyak sekali terlibat dalam pameran. Ditahun ketiganya ia menyumbangkan salah satu karyanya untuk dipamerkan di Sao Paulo Bienal II. Sketsa-sketsa Ruliyati sering muncul dimajalah-majalah kesenian bulanan yang terbit di tahun 50-an dan 60-an, seperti Budaya, Budaya Jaya, Indonesia, hingga Zenith. Sketsa Ruliyati mengisi halaman-halaman dimajalah tersebut yang menampilkan sosok seperti nelayan dan kuli bangunan. 

Ruliyati merupakan sosok yang begitu konsisten dengan menampilkan kehidupan rakyat dari dekat. Ruliyati memang dekat dengan kehidupan ini sedari kecil. Memasuki tahun 60-an, Ruliyati pindah ke Jakarta dan mulai sering melakukan pameran tunggal dan juga sering berpartisipasi dipameran grup. Pada tahun 1966, ia dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Merdeka, disana Ruliyati memperlihatkan beberapa lukisannya, setelah melihat-lihat Sukarno tertarik pada sebuah lukisan yang berjudul Boneka Jepang.

3. Sriyani Hudyonoto

Lukisan berjudul Kumis Putih karya Sriyani Hudyonoto. Dok. sidharta-auctioneer

Sriyani Hudyonoto adalah perempuan pelukis kelahiran Yogyakarta, 6 Mei 1930. Ia pernah berkuliah di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung pada tahun 1950 dan menempuh studi di Konin klijke Academie voor Beeldende Kunsten, Belanda (1955-1960). Sebelumnya ia pernah belajar memahat pada pematung Sumadi di Mangkunegaran, Solo pada tahun 1947 dan melukis di Sanggar Jiva Mukti, Bandung. 

Pada 1985 ia menerbitkan buku berjudul "The Flying Buffalo" (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta). Ia meninggal pada 6 Desember 2006.

4. Marina Joesoef

Lukisan karya Marina Joesoef. Foto: Istimewa

Marina Joesoef — lahir dengan nama Marina Sastrowardoyo pada tanggal 24 Maret 1959 di Jakarta — adalah seorang seniman asal Indonesia. Ia adalah seorang pelukis yang pernah menggelar pameran di Jakarta dan Kuala Lumpur. Ia juga dikenal dengan nama Marina Joesoef Sastrowardoyo, meskipun Joesoef adalah nama belakang suaminya.

Pada awal dekade 1960-an, Marina mengikuti orang tua dan saudaranya untuk tinggal di Los Angeles dan Leiden, Belanda, di mana ayahnya, Dr. Sumarsono Sastrowardoyo, mempelajari urologi selama enam tahun, termasuk di University of California, Los Angeles. Marina pun bersekolah di Santa Monica dan Leiden.

Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1976, ia berpartisipasi dalam ajang Miss Teen yang digelar oleh majalah Gadis, dan berhasil menjadi juara pertama.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."