Daftar Pelukis Perempuan Indonesia, dari Kustiyah hingga Hana Madness

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Hana Madness. Instagram/hanamadness

Hana Madness. Instagram/hanamadness

IKLAN

7. Christine Ay Tjoe

Christine Ay Tjoe. Dok.ITB

Ay Tjoe Christine lahir 27 Desember 1973 di Bandung, Jawa Barat. Selama 1992-1997, Christine mempelajari seni grafis di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Pada 2004, Christine menerima beasiswa di Stiftung Kuenstlerdorf, Schoeppingen, Jerman. Kemudian pada tahun 2008, Christine mengikuti residensi di STPI, di Singapura.

Karya Christine mulai dipamerkan pada tahun 1999 dalam pameran bersama “Biasahaja’99, Graphic Art Exhibition” di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Di tahun 2001, Karya Christine dipamerkan di luar negeri untuk pertama kalinya ketika mengikuti “Art Singapore” di Singapura. Pada tahun yang sama, Christine mengadakan pameran tunggal untuk pertama kalinya dengan judul “Buka Untuk Melihat” di Redpoint Gallery, Bandung. 

Pameran tunggal Christine selak selanjutnya antara lain: “At The Day of German Unity” di Germany Embassy, Jakarta (2002); “Aku / Kau / Uak” di Edwin’s Gallery, Jakarta, (2003); “Reach Me” di Cemeti Art House, Yogyakarta (2003); “Eksekusi Ego” di Edwin’s Gallery, Jakarta (2006); “Silent Supper” di Ark Galerie, Jakarta (2007); “Wall Prison (part two)” di Scope Miami Art Fair, Miami, Amerika (2008); “Interiority of Hope” di Emmitan Gallery, Surabaya (2008); “Panorama without Distance”, di Art Hong Kong 09, Hong Kong (2009); "The Path Less Found" di Michael Ku Gallery, Taiwan (2012); "Myriad of 'paste'" Ota Fine Arts, Tokyo (2013); dan "Christine Ay Tjoe: Perfect Imperfection" di SongEun ArtSpace, Seoul (2015).

Di tahun 2001, Christine termasuk dalam kandidat 5 terbaik dalam Philip Morris Indonesian Art Award.

Awalnya Christine menghasilkan karya berupa lukisan. Setelah itu, Christine baru kemudian membuat karya seni lainnya, seperti benda tiga dimensi, instalasi yang menggunakan suara, serta karya instalasi bergerak. Agung Hujatnikajennong, yang menjadi kurator dalam pameran tunggal Christine yang berjudul “Myriad of ‘paste’” (Jepang, 2003), melihat dalam proses membuat karyanya, Christine banyak dipengaruhi oleh pengalaman khususnya dengan obyek tertentu. 

Christine seringkali melukis tidak beraturan, penuh warna, dan menggunakan garis-garis lugas. Dalam berbagai bagian lukisan dapat ditemukan bentuk-bentuk yang lebih familiar. Bentuk yang terlihat acak dari garis dan bagian bewarna memperlihatkan perbedaan yang kontras antara yang tenang dengan yang bersemangat. Karya Chistine dilihat dapat menginspirasi penonton melalui hasil dari proses yang tidak hanya intens, tapi juga lugas dan jujur.

8. Arahmaiani

Arahmaiani. Dok.Suluh Perempuan

Arahmaiani Feisal lahir pada 21 Mei 1961 di Bandung, Jawa Barat. Pendidikan seni yang diterimanya antara lain di Academie voor Beeldende Kunst, Enschede, Belanda (1983); Paddington Art School, Sydney, Australia (1985); dan Institut Seni Bandung (1992). 

Karya seni yang dihasilkan Arahmaiani berupa performance-art, lukisan, dan instalasi. Di tahun 1981, karya Arahmaiani pertama kali ditampilkan pameran bersama pada "Accident I" di Bandung. Kemudian Arahmaiani mengadakan pameran tunggal untuk pertama kalinya di tahun 1987 dalam "My Dog is Dead and then He Flew" di Centre Culturelle Française, Bandung. 

Pameran tunggal Arahmaiani selanjutnya antara lain: "Sex, Religion, and Coca Cola" di Oncor Studio, Jakarta (1993); "Dayang Sumbi: Refuses Status Quo" di Centre Culturelle Française, Bandung (1999); "Visit to My World" di Asian Fine Arts Gallery, Berlin, Jerman (2002); "Fusion & Strength" di Gallery Benda, Yogyakarta (2003); "Wedding Party (LAPEN Wedding)" di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2004); "Slow Down Bro" di Jogya National Museum, Yogyakarta (2008); "The Grey Paintings" di Equator ArtProjects, Singapore (2013); "Fertility of the Mind" di Tyler Rollins Fine Art, New York, AS (2014); "Violence No More" di Haus Am Dom, Frankfurt, Jerman (2015); dan "Shadow of the Past" di Tyler Rollins Fine Art, New York, AS (2016).

Karya Arahmaiani yang dipamerkan dalam "Traditions/Tension" di Asia Society New York (1996) dianggap menjadi salah satu karya terpentingnya sebagai seniman. Arahmaiani dianggap seringkali menyinggung masalah gender dan religi, serta melakukan kritik terhadap keadaan sosial melalui karyanya. 

Pada 1994, karyanya yang berjudul"Lingga Yoni" dan "Etalase" menjadi kontroversi karena dianggap menghina agama. Menurut Lola Lenzi (kurator), karya Arahmaiani mampu mengaburkan batas antara "kami" dan "mereka", sehingga respon yang diterima juga akan beragam.

Masa Lalu Belumlah Berlalu adalah pameran survei dari seniman Indonesia, Arahmaiani. Ia menjadi salah satu tokoh wanita yang paling penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Asia Tenggara pada tahun 1990-an.

9. Citra Sasmita

Citra Sasmita merupakan satu dari tiga seniman Asia Tenggara yang terpilih mendapatkan residensi dari Delegasi Uni Eropa dan NTU Singapura dalam program SEA AiR. Dok. NTU Singapura.

Citra Sasmita, lahir 30 Maret 1990 adalah perupa asal Indonesia. Namanya mulai dikenal dalam seni rupa Indonesia melalui karya-karyanya yang tidak hanya berupa lukisan, seni instalasi dan performance art dan telah dipamerkan di dalam dan di luar negeri. Citra merupakan salah satu penerima penghargaan Gold Award Winner dalam kompetisi seni lukis UOB Painting of The Year 2017 kategori seniman profesional. Karya-karya Citra banyak merepresentasikan isu-isu perempuan terutama mengenai identitas kultural, posisi perempuan dalam kultur patriarki dan realitas sosial dan budaya.

Keluarga Citra merupakan seniman pertunjukan tradisi yang sering pentas dari desa ke desa dalam upacara ritual Hindu di Bali. Bermula dari itulah ia tumbuh dan tertarik dengan dunia kesenian. Sempat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar (2008) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Ganesha, jurusan ilmu fisika, Singaraja (2009), karena keinginannya untuk melanjutkan studi lukis tidak direstui oleh almarhum ayahnya yang saat itu menjadi guru Kimia. 

Namun cita-citanya sebagai perupa kembali tumbuh ketika ia mengikuti grup teater kampus dan menjadi ilustrator cerpen di sebuah koran lokal Bali Post. Ketika ia menjadi ilustrator cerpen inilah ia mulai mendalami dunia seni rupa secara otodidak dan aktif mengikuti pameran di Bali dan diluar Bali. Dua bidang ilmu (sastra dan sains) yang pernah ia pelajari juga menjadi pedoman dalam proses karyanya dalam memformulasikan gagasan dan isu-isu sosial. 

Pada 2016, karyanya yang yang dipamerkan pada pameran "Bali Art Intervention #1" mendapat sorotan karena menghadirkan figur perempuan yang mencium kepala babi, menghadirkan imaji kehidupan kultural perempuan Bali dalam tekanan psikologis dan sosial, sebagaimana tajuk dari pameran tersebut yang menghadirkan karya-karya kritis mengenai sisi gelap pulau Bali. 

Kemudian pada tahun 2016 dalam pameran Merayakan Murni, sebuah pameran persembahan untuk pelukis Murniasih (1966-2006), Citra menghadirkan karya instalasi 100 buah keramik yang dikombinasikan dengan timbangan gantung "Mea Vulva, Maxima Vulva" yang merepresentasikan ketimpangan kelas sosial dan habitus masyarakat. Beberapa karyanya juga pernah dipamerkan di Melbourne dalam pameran bertajuk Crossing Beyond Baliseering.

10. Hana Madness

Hana Madness merupakan seniman visual, aktivis isu kesehatan mental dan sejak 2016 telah banyak bekerja sama dengan British Council di program disability arts. Hana seorang aktivis kesehatan mental dan seniman kontemporer yang berbasis di Jakarta berbicara kepada Jakarta Post tentang pengalamannya.

“Sebagai penyandang disabilitas mental, masa-masa sulit seperti sekarang ini terasa lebih berat bagi saya. Banyak proyek saya, seperti diskusi, seminar, dan pameran yang ditunda,” kata Hana yang didiagnosis dengan gangguan Bipolar tipe 1 pada tahun 2013. “Melihat begitu banyak berita negatif di media arus utama tentang isolasi sosial, ketakutan akan penularan, dan kehilangan anggota keluarga telah memperparah tekanan yang disebabkan oleh hilangnya penghasilan dan pekerjaan saya. Banyak hal yang memperburuk kondisi seseorang yang rentan dan dapat mengurangi kreativitasnya.”

“Awalnya saya merasa rendah diri karena melihat banyak teman seniman saya di media sosial yang mampu mempertahankan produktivitas mereka. Namun, saya menyadari bahwa saya berbeda dan tahu persis apa kemampuan saya dan meyakinkan diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk terus berjalan perlahan. Saya tahu saya tidak sendirian – seluruh dunia merasakan ini.”

Menanggapi kondisinya, Hana yang merupakan satu dari sepuluh perempuan yang dipilih oleh Majalah Herworld sebagai ‘Perempuan Tahun Ini, 2019’ atas berbagai peran dan prestasinya, menyatakan, “Saya lebih fokus memulihkan kondisi saya dengan menjalankan pola makan sehat, menjaga komunikasi yang baik dengan teman dan keluarga, serta menyaring semua informasi yang saya terima, dan tidak menelan mentah-mentah.”

Lukisan telah memainkan peran penting dalam kehidupan Hana selama dekade terakhir, membantunya mengatasi situasi yang berdampak besar pada lingkungan rumah dan sekolahnya. Gambar-gambarnya yang berwarna-warni langsung menarik perhatian, menampilkan serangkaian karakter yang ceria yang ditujukan langsung kepada penonton. 

“Saya suka bermain dengan warna dan ekspresi yang berbeda, mengubah coretan saya menjadi karya yang bermakna yang menggambarkan karakteristik manusia yang kuat. Berbicara tentang kesehatan mental tidak selalu tentang kesedihan atau sesuatu yang menakutkan,” kata Hana. “Cerdas, dan bahkan lucu, karakter-karakter saya adalah interpretasi spontan dari semua perasaan saya dan berbagai gelombang emosi dalam diri saya.”

Lahir pada tahun 1992 di daerah Jakarta yang terpinggirkan secara ekonomi, dibesarkan dalam keluarga yang religius, Hana mengingat masa kecilnya dengan sedikit kesempatan, sering mengalami kejadian buruk, dan kesepian. Selama masa SMP dengan kesulitan bersosialisasi dan tidur, gejala psikotiknya, termasuk depresi, halusinasi, perubahan suasana hati yang ekstrem, dan menyakiti diri sendiri, meningkat, yang akhirnya mengarah pada upaya bunuh diri.

“Titik balik saya terjadi pada tahun 2012,” kata Hana. “Setelah kambuhnya trauma saya. Saya berkata pada diri sendiri, “Baiklah, saya menyerah, Tuhan telah menciptakan saya dengan cara yang berbeda.” Saya harus berdamai dengan diri sendiri, meskipun saya tahu itu sangat sulit. Maka, dimulailah proses penerimaan diri saya.” Hana mulai mengalami perubahan dalam peruntungannya. 

Kemudian pada tahun itu, ia memberikan pidato pertamanya dalam sebuah seminar tentang kesehatan mental, ‘DISABILITAS, TERAPI SENI, DAN HUBUNGAN DENGAN SENI JALANAN’. Sebuah surat kabar terkemuka di Indonesia mewawancarainya, dan kisahnya pun mendapat liputan nasional. Namun, Hana dan keluarganya awalnya merasa malu karena menganggap bahwa membagikan informasi tersebut adalah hal yang tabu.

“Perlahan-lahan, kami menyadari bahwa berbagi perjuangan dan pengalaman saya adalah hal yang positif karena memberikan dampak yang besar pada orang lain yang masih berjuang dengan kondisi kesehatan mental mereka. Tidak hanya bagi para penyintas, tetapi juga keluarga dan pengasuh mereka. Sikap positif ini menginspirasi saya untuk melanjutkan aktivisme saya,” kata Hana. 

“Saya bangga dan berdaya karena saya dapat berbagi dan menyuarakan keprihatinan tentang masalah kesehatan mental dengan menggunakan seni sebagai senjata. Isu ini bukan lagi tentang saya karena ini juga mewakili banyak orang lain di luar sana yang masih berjuang dan tidak dapat menyuarakan pendapat mereka di ranah pribadi dan publik.”

Pilihan Editor:  Perankan Pelukis Emiria Soenassa, Dira Sugandi Punya Teknik Vokal Kuat

GOETHE | WIKIPEDIA | ANTARA | DIGITAL ARCHIVE OF INDONEIAN CONTEMPORARY ART | MUSEUM MACAN | KEMDIKBUD | LIFE AS ART ASIA

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Halaman

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."