Daftar Perempuan Peneliti di Indonesia, dari Peni Ahmadi hingga Pietradewi Hartrianti

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Peneliti BRIN, Peni Ahmadi/Doc. Loreal

Peneliti BRIN, Peni Ahmadi/Doc. Loreal

IKLAN

6. Aty Widyawaruyanti

Aty Widyawaruyanti. unair.ac.id

Aty Widyawaruyanti, M.Si. yang telah berhasil masuk ke dalam jajaran "Top 100 Medical and Health Sciences Scientist Tahun 2022".

Universitas Airlangga (Unair) mengukuhkan Aty Widyawaruyanti menjadi guru besar bidang ilmu farmakognosi dan fitokimia. Aty menyampaikan orasi ilmiah berjudul Pengembangan Obat Malaria Berbasis Bahan Alam dalam Upaya Mewujudkan Indonesia Bebas Malaria di 2030. 

Guru besar yang menaruh perhatian pada eksplorasi bahan obat alam itu menyebut penyakit Malaria masih menjadi permasalahan kesehatan yang belum terselesaikan di Indonesia. Problem utama pada penanggulangan penyakit ini adalah resistensi plasmodium terhadap obat malaria yang ada saat ini. 

"Untuk itu, penelitian terhadap penemuan obat malaria baru sangat diperlukan, termasuk anti malaria yang berasal dari obat tradisional berbasis tanaman,” ujar Aty dikutip dari laman unair.ac.id.

Aty menuturkan beberapa daerah di Indonesia umumnya telah turun temurun menggunakan ramuan tanaman tradisional sebagai obat malaria. Namun, cara pembuatan, dosis, dan lama pemakaian tidak memiliki standarisasi, sehingga khasiatnya tidak konsisten.

“Perlu dilakukan penelitian dan pengembangan obat malaria dari bahan alam sebagai Fitofarmaka agar obat tradisional yang selama ini telah digunakan masyarakat dapat dibuktikan khasiat dan keamanannya secara ilmiah serta bermutu baik,” kata Aty. 

Dia menyebut diperlukan penelitian terhadap standardisasi, studi formulasi, pembuktian khasiat produk, dan pengkajian keamanan produk obat malaria. Berdasarkan riset melalui tahap-tahap tersebut, Aty mengembangkan prototipe produk obat malaria berupa tablet fraksi etil asetat sambiloto dan kapsul ekstrak etanol kulit batang cempedak yang sudah terstandar, aman, dan terbukti khasiatnya, baik pra-klinik maupun klinik.

Peneliti yang masuk dalam jajaran Top 100 Medical and Health Sciences Scientist berdasarkan Alper-Doger (AD) Scientific Index itu meyakini potensi besar obat malaria yang berasal dari obat tradisional dan tanaman Indonesia. Hal itu untuk mewujudkan Indonesia Bebas Malaria 2030.

“Selain membutuhkan kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) terkait penggunaan obat malaria berbasis bahan alam, juga diperlukan implementasi kolaborasi antara akademisi, bisnis dan pemerintahan, untuk menghasilkan obat malaria berbasis bahan alam demi menyukseskan target Indonesia Bebas Malaria 2030,” tutur dia. 

7. Noryawati Mulyono 
Doktor Noryawati Mulyono. Foto: Dok. L'Oreal Indonesia

Hati Noryawati Mulyono terpaut dengan dunia penelitian bermula dari pelajaran kimia. Ya, kamu tidak salah baca, Sahabat Cantika. Dia mengatakan sudah "akrab" dengan nama bahan-bahan kimia sedari kecil. Dia belajar dari usaha sang ayah yang bergerak di bidang pewarna batik.

"Saya tinggal di Pekalongan, ayah saya punya usaha obat batik. Jadi semua pewarna batik, saya sudah familiar sejak kecil. Saya sudah belajar tentang sodium percarbonate, semua pewarna batik. Jadi menurut saya, satu-satunya mata pelajaran yang enak dan ga perlu belajar adalah kimia. Saya senang belajar kimia," ucapnya.

Akhirnya, Doktor Noryawati memilih jurusan kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan, dia semakin jatuh cinta dengan kimia karena beragam pertanyaan yang muncul di kepalanya bisa dijawab dengan baik saat kuliah.

"Contohnya, bagaimana tanaman bisa tumbuh. Jawaban itu ada di kimia, biokimia, kimia organik. Semakin belajar kimia seperti baca novel tentang kehidupan," katanya.

Selain mengajar dan melakukan penelitian, Doktor Noryawati aktif menjalankan Biopac, perusahaan dia yang bergerak pada bisnis solusi untuk masalah sampah plastik dan produsen biopackaging yang memimpin pengemasan sirkuler yang dapat diperluas ke berbagai format varian kemasan.

"Kami menciptakan lapangan kerja bagi kaum muda perkotaan yang berbakat namun kurang beruntung, serta bekerja sama dengan petani rumput laut untuk menyediakan bahan baku bioplastik. Ini membantu memberantas perdagangan manusia dan memberikan pendapatan yang stabil bagi komunitas pesisir," katanya.

Noryawati Mulyono telah membuktikan bahwa plastik dapat menjadi bahan ramah lingkungan lho. Ia membuat inovasi plastik yang 100% terbuat dari damar dan rumput laut.

8. Ines Irene Caterina Atmosukarto

Doktor Ines Irene Caterina Atmosukarto. Foto: Dok. L'Oreal Indonesia

Doktor Ines Irene Caterina Atmosukarto. Ketertarikan dia menjadi perempuan peneliti bermula dari orang tua. 

"Niat menjadi peneliti dipupuk dari rumah. Keluarga saya kebetulan sangat menjunjung tinggi pendidikan. Mama adalah ahli fisika nuklir, papa adalah insinyur. Sejak kecil dipupuk bahwa pendidikan itu penting," kata Ines dalam acara L’Oreal Beauty That Moves: Women in Science di Jakarta Selatan, Rabu, 22 Mei 2024.

Doktor Ines diketahui sudah berkarier selama 15 tahun di Australia sebagai peneliti, akademisi dan juga CEO Lipotek Pty Ltd yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang medis dan pembuatan vaksin. Dia memiliki semangat yang besar untuk kembali ke Indonesia dalam memberikan kontribusi melalui kolaborasi dan kemitraan dengan pemerintah guna mendukung pemanfaatan sains dan hasil penelitian sebagai landasan pembuatan kebijakan.

Dr. Ines juga menyampaikan bahwa penting bagi para perempuan peneliti untuk memiliki kemampuan komunikasi dan kepemimpinan yang baik sebagai modal mereka dalam meniti karier di berbagai bidang dan memberikan kontribusi untuk negeri melalui hasil temuan yang tepat guna dan dapat diimplementasikan dalam masyarakat.

9. Fenny Martha Dwivany

Profesor Fenny Martha Dwivany. Foto: Dok. L'Oreal Indonesia

Awal mula Profesor Fenny Martha Dwivany terpikat dunia penelitian. Ayahnya yang seorang dosen menjadi pemantiknya. "Kami berasal dari desa terpencil di Tasikmalaya. Ayah saya berasal dari keluarga petani, yang jadi sarjana ayah saya satu-satunya. Karena dia dari keluarga ga punya, jadi dia bercita-cita anak-anak harus sekolah setinggi-tingginya. Saya pun termotivasi melihat betapa tinggi semangat dan perjuangan ayah saya," ujar Guru Besar Institut Teknologi Bandung itu.

Dia juga mengatakan sosok Pratiwi Sudarmono, astronot perempuan pertama Indonesia juga semakin menguatkan tekad dia menjadi peneliti. "Waktu SD tahun 1984, nonton televisi lihat profesor Pratiwi, astronot perempuan pertama dari Indonesia. (Lalu saya berucap) kok, ada perempuan jadi astronot. Jadi, dulu cita-cita saya jadi cita-cita saya. Biologi asyik, mempelajari yang hidup-hidup," ucapnya.

"Minat saya di life science, dan latar belakang keluarga yang membuat saya tertarik menajdi peneliti," ucapnya.

Profesor Fenny juga menyampaikan bahwa diperlukan beberapa langkah strategis dalam memajukan peran perempuan peneliti.

“Pertama, pentingnya pengembangan kapasitas melalui pelatihan dan lokakarya yang khusus dirancang untuk peneliti perempuan yang difokuskan pada pengembangan keterampilan teknis dan manajerial. Kedua, mentorship dan networking di mana perempuan peneliti mendapatkan bimbingan dari peneliti senior yang sudah berpengalaman, sehingga dapat membantu mereka navigasi di dunia penelitian yang kompetitif," katanya.

Hal ketiga yang dia sebutkan adalah pentingya dukungan dari institusi pemerintah, dan pihak swasta untuk menciptakan lingkungan penelitian yang inklusif dan suportif termasuk fasilitas penelitian yang memadai.

10. Pietradewi Hartrianti

Doktor Pietradewi Hartrianti ditemui di Jakarta Selatan pada Rabu, 22 Mei 2024. Foto: CANTIKA/Silvy Riana Putri

Pietradewi Hartrianti tertarik menjadi perempuan peneliti didorong oleh dua hal dari dalam dirinya sendiri, yaitu rasa ingin tahu yang besar dan penyakit autoimun yang dideritanya.

"Di keluarga saya tidak ada yang berkaitan dengan science. Papa saya lulusan SMA, ibu saya bekerja di perbankan. Dari kecil saya punya rasa ingin tahu yang besar. Saya juga punya penyakit autoimun. Saya selalu bertanya-tanya kenapa penyakit ini tidak ada obatnya. Ini pula alasan kenapa saya ambil jurusan S1 dan S2 farmasi di Universitas Indonesia," ujar Dekan School of Life Sciences di Indonesia International Institute for Life-Sciences.

"S3 saya material biomaterial. Dari situlah, saya keterusan, penelitian ke arah situ, dan masih ingin menjawab rasa penasaran saya dari kecil, yaitu bagaimana mengobati penyakit saya sendiri. Jadi, awalnya dari situ dan sampai sekarang, masih mengejar dan fokus ke arah situ," katanya.

Melalui penelitiannya, Pietradewi berupaya untuk menciptakan model jaringan kanker buatan dalam bentuk 3D dengan menggunakan keratin yang diperoleh dari rambut manusia sebagai bahan dasar pencetakan. Dengan demikian, kita dapat menguji obat-obatan kanker dengan lebih akurat, efektif, dan efisien.

Metode ini tidak hanya meningkatkan akurasi pengujian, tetapi juga lebih efektif secara biaya dan mendukung aspek keberlanjutan dalam penelitian medis.

“Bekerja sebagai seorang perempuan peneliti tentu menjadi mimpi dan harapan saya. Selain itu, dengan perkembangan teknologi dan dukungan dari berbagai pihak, potensi karier sebagai peneliti semakin terbuka lebar. Saya melihat bahwa saat ini, semakin banyak peluang untuk melakukan penelitian yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat," ucapnya.

Menurut Pietradewi, kesempatan untuk berkolaborasi dan berpartisipasi dalam proyek-proyek penelitian semakin banyak baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Pilihan Editor:  4 Perempuan Peneliti Raih Penghargaan L'Oreal - UNESCO FWIS 2019

SILVY RIANA PUTRI | REZKI ALVIONITASARI | UNIVERSITAS INDONESIA | UNIVERSITAS AIRLANGGA | BRIN | LOREAL INDONESIA 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Halaman

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."