Keunikan Kopi Arabika Seharga Rp1,7 Juta Per Cangkir di Bacha Coffee

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Secangkir kopi di Bacha Coffee Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat, 8 November 2024. TEMPO/Mila Novita

Secangkir kopi di Bacha Coffee Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat, 8 November 2024. TEMPO/Mila Novita

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaBacha Coffee, butik kopi dari Maroko, membuka dua cabang di Jakarta. Berada di Plaza Senayan dan Plaza Indonesia, kafe yang berkonsep klasik dan mewah ini menghadirkan 209 varian kopi arabika dari 35 negara di dunia, termasuk dari Indonesia.

Di antara banyak varian kopi yang tersedia, salah satu yang mencuri perhatian adalah Paraiso Gold Coffee dari Brasil. Kopi ini tersedia dalam bentuk biji yang sudah di-roasting dan minuman kopi. Biji Paraiso Gold Coffee dijual seharga Rp13,145 juta per 100 gram, sedangkan kopi siap minum dijual seharga Rp1,695 juta atau hampir Rp1,7 juta per cangkir. Kopi ini menjadi yang termahal di Bacha Coffee. 

Keunikan Paraiso Gold Coffee

Hal yang membuat kopi ini unik adalah asal-usul dan prosesnya. Dilansir dari laman Bacha Coffee, kopi ini diambil dari Cerrado Mineiro, dataran tinggi yang terkenal sebagai penghasil kopi di Brasil. Di sana, tinggallah generasi ketiga keluarga Andrade yang mengelola salah satu fazendas atau perkebunan kopi tertua di wilayah tersebut. Tanaman kopi arabika di perkebunan ini tumbuh di ketinggian sekitar 1.100 meter, dan mendapatkan manfaat dari keseimbangan yang baik antara hujan dan panas. 

Kopi dipanen saat matang sempurna. Terkadang panen membutuhkan waktu empat sampai lima tahun. Hasil panen lalu disortir dan diproses secara alami. Biji kopi difermentasi selama 36 jam, lalu disebarkan di atas bedengan dalam lapisan 30 sentimeter selama dua hari. Proses pengeringan lambat ini menghasilkan kopi berkualitas lebih tinggi dan lebih seragam. Kopi ini disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia.  

Paraiso Gold Coffee ini tidak tersedia banyak. Di Plaza Indonesia, misalnya, hanya tersedia satu kilogram dan di Plaza Senayan dua kilogram. Tidak semua store Bacha Coffee di dunia menyediakan kopi ini. 

Bacha Coffee Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis, 8 November 2024. TEMPO/Mila Novita

Kopi dari Burung Jacu

Selain Paraiso Coffee, kopi lain yang harganya juga tergolong mahal adalah Camocim Jacu Bird Coffee. Kopi ini juga berasal dari Brasil. Dibandingkan dengan kopi lainnya, ini merupakan kopi termahal kedua di kafe ini. Harga biji kopinya Rp4,165 juta per 100 gram, sedangkan minumannya Rp550 ribu per cangkir. 

Camocim Jacu Bird Coffee mirip dengan kopi luwak. Buah kopinya dipetik secara alami oleh burung jacu yang hidup liar di wilayah Amerika Selatan. Burung ini hanya memakan buah ceri pilihan, lalu dicerna, dan dikeluarkan bersama kotoran. Proses fermentasi biji kopi terjadi selama alami di dalam pencernaan burung sehingga menghasilkan cita rasa yang unik. Hasil seduhan menghasilkan secangkir kopi yang bening dan tajam, cerah dan asam dengan aroma buah dan bunga yang unik dan aftertaste adas manis. 

Kopi Luwak 

Kopi luwak berada di urutan ketiga sebagai kopi termahal di kafe ini. Berasal dari Indonesia, kopi ini dijual seharga Rp395 ribu per cangkir. Adapun biji kopi luwak dijual seharga Rp2,875 per 100 gram. Meski berasal dari Indonesia, tidak disebutkan daerah asal kopi ini. Hanya saja, kopi ini diklaim berasal dari luwak liar yang hanya memakan biji-biji kopi merah pilihan. 

Di negara-negara Arab seperti Maroko, kopi arabika lebih disukai daripada robusta karena rasanya yang lebih kaya. Kopi ini tidak bisa tumbuh di sembarang tempat, hanya dapat ditanam di ketinggian antara 1.000 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Perawatannya juga lebih rumit dan sering kali gagal. Itu yang membuat harga kopi arabika juga cenderung lebih mahal. 

Pilihan Editor:  Ketahui 6 Perbedaan Mendasar Kopi Arabika dan Kopi Robusta

MILA NOVITA

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."