CANTIKA.COM, Jakarta - Apakah di akhir pekan ini, agenda kamu kulineran sambil mengulik sejarah? Jika iya, bisa bertandang ke Cafe Batavia. Kafe yang berada di Kota Tua Jakarta ini berusia 31 tahun di bulan ini. Perayaan hari jadi pun digelar dengan makan malam dan pertunjukan Nusantara pada awal bulan ini.
Menempati bangunan berusia lebih dari dua abad, sejarah Cafe Batavia lebih jauh dari usianya. Menurut laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bangunan Cafe Batavia dibangun pada 1805.
Bangunan ini semula digunakan untuk rumah tinggal bagi para gubernur yang menjabat pada masa kolonial Belanda. Namun, bangunan ini beberapa kali beralih fungsi, termasuk menjadi penginapan para pejabat VOC dan galeri seni sebelum beralih menjadi kafe.
Cagar Budaya
Sejarah yang panjang ini membuat kafe ini bukan sekadar tempat makan atau nongkrong. Jessica Pandy, generasi kedua pemilik Cafe Batavia ini, mengatakan bahwa kafe ini memiliki konsep yang agak unik.
“Bisa dibilang restoran, tapi sebenarnya semimuseum karena (bangunan) ini sebenarnya cagar budaya grade A. Karena cagar budaya, kami preserve tempat ini sebisa mungkin tidak berubah, masih sama seperti dulu,” kata Jessica kepada Tempo di sela-sela perayaan hari jadi Cafe Betawi pada Selasa, 3 Desember 2024.
Kafe Batavia, Kota Tua, Jakarta Barat. TEMPO/Mila Novita
Suasana Tempo Dulu
Kafe ini menyatu harmonis dengan bangunan-bangunan di sekitarnya yang juga merupakan bangunan cagar budaya. Di seberang kafe, dipisahkan lapangan Taman Fatahillah, ada Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya merupakan Balai Kota. Dibangun mulai 1620 dan diresmikan pada 1710 sebagai Balai Kota, museum ini merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Tua. Di sebelah kiri Cafe Batavia terdapat Gedoeng Jasindo, bekas kantor dagang Jawa Barat yang didirikan pada 1920.
Cafe Batavia berada di pojok. Bangunan dua lantai ini mudah dikenali karena bangunanya yang unik dan ukurannya yang besar. Sebuah kanopi panjang berwarna hijau bertuliskan Café Batavia menjadi ciri khasnya.
Jendela-jendela tinggi dari kayu terbuka, memperlihatkan suasana di dalam kafe. Halaman kafe dihiasi dengan pagar putih klasik dengan tanaman hias serta paying-payung hijau untuk para tamu yang ingin menikmati Kota Tua dari luar.
Begitu memasuki kafe, tamu akan menemukan lounge dengan suasana tempo dulu. Kursi-kursi kayu jadul disusun berjajar di lantai berlapis ubin yang disusun menyerupai papan catur, masing-masing untuk empat orang. Sebuah panggung berada di sisi kanan, menampilkan hiburan musik dalam suasana temaram. Di bagian belakang terdapat bar dengan pajangan anek jenis botol minuman. Beberapa foto jadul menghiasi dinding lounge.
Di tengah ruangan ini terdapat sebuah tangga lebar untuk menuju lantai dua. Tangga ini pun tak kalah menarik karena dindingnya menampilkan lebih banyak foto klasik dalam bingkai kuno, yang ternyata lebih banyak lagi di lantai atas.
Jessica mengatakan bahwa bukan hanya foto, beberapa elemen kafe ini pun sengaja masih seperti aslinya.
"Seperti bar, ada (hiasan) kulit sapinya. Dulu juga kulit sapi, cuma karena sudah lama (bulu) kulit sapinya sudah agak rontok. Jadi mesti diganti," kata dia.
Hal sama pada tirai atau gorden jendela dan pintu. Jessica mengaku sulit mendapatkan bahan tirai yang persis, tetapi mereka mencari yang semirip mungkin. Lampu-lampu yang menggantung di dalam ruangan ini juga menambah kesan kuno.
"Kalau ada lampu yang rusak, kami cari yang sama untuk penggantinya walaupun sebenarnya biayanya lebih besar," katanya.
Namun, banyak elemen bangunan ini yang masih asli. Misalnya lantai yang terbuat dari kayu panjang. Menurut Jessica, lantai ini sengaja dipertahankan seperti zaman dulu dan masih bagus sampaoli sekarang. "Lantai kayu ini cuma direstorasi. Kalau mau ganti apa pun, kami butuh approval karena ini cagar budaya," kata dia.
Menu Tradisional dengan Sentuhan Modern
Jessica mengatakan bahwa meski usia kafe ini sudah 31 tahun, keluarganya baru mengambil alih pengelolaannya antara 2011 dna 2012. Orang tua Jessica, Lianny Haryono dan Leonard Pandy, membeli kafe ini dari pemilik sebelumnya, warga negara asing yang pulang ke negaranya.
Meski pemilik baru, mereka tidak mengubah konsep kafe. Cafe Batavia tetap bergaya Indo Dutch. Hanya makanan yang mengalami sedikit perubahan, lebih fokus menyajikan makanan Indonesia dengan sentuhan modern. Beberapa menu klasik seperti kue bitterballen dan poffertjes masih tetap ada.
"Kami masukkan ayam kodok juga karena itu salah satu makanan tradisional Indo Dutch," kata dia. Menu ini terbuat dari ayam utuh yang dipanggang. Makanan ini biasanya disajikan pada perayaan Natal atau hari-hari besar lainnya.
Kalau ke Cafe Batavia, jangan lupa pesan nasi goreng ikan roa. Nasi goreng ini pernah meraih medali di acara Salon Culinary pada 2019. Keunikannya ada pada penyajian yang menggambarkan lautan. Dalam satu piring, ada bagian yang menggambarkan pasir, ombak, dan laut itu sendiri dengan menggunakan bahan-bahan seperti rumput laut dan kepiting.
Pilihan Editor: Lebih dari Kafe, Nakara Cafe Tawarkan Buku Bacaan dan Ruang Belajar
MILA NOVITA
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika