Mengenal YONO, Tren Frugal Living Korea Selatan yang Disebut Pengganti YOLO

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rezki Alvionitasari

google-image
Ilustrasi transaksi belanja. Dok. Kemenkeu

Ilustrasi transaksi belanja. Dok. Kemenkeu

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Setelah istilah You Only Live Once (YOLO), kini warga Korea Selatan mulai mengubah kebiasaannya menjadi You Only Need One (YONO). Tren ini merujuk pada kebiasaan belanja yang berfokus pada pembelian barang-barang yang diperlukan saja, serta menekankan hal penting dalam hidup. 

Data bank asal Korea Selatan, Nonghyup Bank (NH Bank), menunjukkan jumlah transaksi makanan di restoran periode 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2024 menunjukkan penurunan 9 persen, sepesifikasi kalangan usia 20-30 tahun, seperti dilansir dari MyNews

Tak hanya itu, konsumsi kopi di cafe ikut susut hingga 13 pesen, diikuti transaksi di pusat perbelanjaan turun sekitar 3 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan konsumsi makan di toko serba ada yang mengalami peningkatan hingga 21 persen.

Tagar #underconsumption juga makin populer di media sosial, di mana para pengguna TikTok mulai mengunggah video pengurangan atau minimalisir konsumsi makanan. Pergeseran tren ini tak hanya didorong faktor ekonomi, tetapi juga meningkatnya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial.

Merangkum dari Chonnam Tribune, YONO menjadi hype di Korea Selatan karena dilihat dari tiga prespektif, yaitu:  

1. Membiasakan diri dengan pola pikir hemat

Anak muda masa kini mulai beralih ke kebiasaan belanja hemat, mengelola keuangan dengan ketat di tengah tingginya biaya hidup akibat inflasi yang merajalela dan rendangnya tingkat pertumbuhan pendapatan.

Sebagai contoh, orang-orang berusia 20-30 tahun lebih mengurangi minum kopi di waralaba mahal seperti Starbucks, kedai kopi ini kurang mendapat minat dan justru turun 13 persen dari tahun ke tahun. 

Sementara pembelian di gerai kopi yang lebih terjangkau seperti Mega Coffee justru naik 12 persen. 

Pergeseran ini mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam pola konsumsi, dengan konsumen muda lebih fokus pada pengeluaran penting daripada sekadar memanjakan diri dengan barang-barang mahal.

Para ahli berpendapat bahwa mengadopsi pola pikir 'menghemat pengeluaran' bukan sekadar menabung, dan merupakan perubahan dalam psikologi konsumen.

Jika tren YOLO difokuskan pada pengeluaran untuk pengalaman yang unik dan berkesan, tren YONO justru berpusat pada konsumsi rasional, yang dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan.

2. Menerapkan konsumsi selektif dan bersama 

Choi Hyung-inn, perempuan berusia 28 tahun asal Korea Selatan menyebut semakin terlalu banyak barang akan membuatnya kesulitan mengaturnya. Misalnya, saat berbelanja pakaian, ia lebih suka membeli basic tops yang bisa digunakan untuk berbagai gaya.

"Saya menyadari lebih efisien untuk menyimpan hanya apa yang benar-benar saya butuhkan," kata Choi.

Langkah ini memungkinkannya untuk menciptakan banyak pakaian dengan lebih sedikit barang, sehingga mengurangi pengeluarannya.

Banyak anak muda mulai menerapkan pendekatan minimalis dalam berbagai aspek berbelanja. Mereka bertujuan untuk menggunakan produk secara efisien, memprioritaskan apa yang benar-benar mereka butuhkan sambil menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan.

Alhasil, layanan jual beli berbagai barang bekas makin populer di kalangan usia 20-30 tahun. Menurut data pelacak pasar Wiseapp Retail Goods, platform perdagangan barang bekas seperti Karrot, Bungaejangter, dan Joonggonara mencapai 22,64 juta pengguna per Agustus 2024.

Artinya, lebih dari 40 persen pengguna ponsel pintar di Korea menggunakan satu atau beberapa aplikasi.

Tren ini mencerminkan keinginan untuk mendapatkan pilihan yang lebih terjangkau di tengah harga yang tinggi, serta berkontribusi pada budaya penjualan kembali. Toko barang antik dan pasar loak juga semakin diminati sebagai tempat untuk menemukan barang-barang unik yang terjangkau.

3. Konsumsi untuk masa depan yang lebih baik

Konsumsi YONO berfokus pada pengurangan konsumsi yang tidak perlu, pemanfaatan sumber daya secara efisien, dan pengambilan pilihan yang berdampak positif terhadap lingkungan.

Gaya ini muncul saat generasi muda masa kini tumbuh di era pertumbuhan ekonomi yang rendah dan meningkatnya masalah lingkungan, menghadapi tantangan seperti upah yang stagnan, biaya hidup yang meningkat, dan meningkatnya kesadaran akan iklim.

Tren YONO dapat berkurang jika ekonomi pulih, karena kondisi keuangan yang membaik dapat menggeser prioritas konsumen kembali ke kebiasaan belanja yang lebih tradisional.

Spesialis ilmu konsumen, Professor Son Ji-yeon mencatat kesulitan ekonomi merupakan faktor utama di balik munculnya tren YONO di Korea Selatan.

Sementara para kritikus berpendapat bahwa fokus yang berlebihan pada berhemat dan pengurangan konsumsi dapat menyebabkan isolasi psikologis dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Mereka juga menggarisbawahi perlunya YONO berkembang menjadi pendekatan yang seimbang terhadap pengeluaran yang meningkatkan ketahanan finansial dan pemenuhan pribadi.

Meskipun menghadapi tantangan ini, YONO harus dianut sebagai gaya hidup yang mengutamakan tanggung jawab lingkungan dan sosial, bukan sekadar tren sesaat.

Pergeseran tren dari YOLO ke YONO ini juga mencerminkan bagaimana kaum muda di Korea Selatan memadukan nilai-nilai mereka dengan tanggung jawab finansial dan pendekatan kreatif untuk hidup bahagia.

Selain itu, YONO bertujuan untuk mengejar dunia yang lebih baik, dengan mendefinisikan ulang norma konsumsi budaya, generasi muda saat ini tidak hanya mendorong pergeseran menuju keberlanjutan. Tapi juga menciptakan peta jalan tentang bagaimana generasi mendatang dapat mengadopsi kebiasaan konsumsi yang lebih disengaja dan berdampak.

Pilihan Editor: Sinopsis Film YOLO, Kisah Perjuangan Perempuan Berdamai dengan Diri Sendiri

SAHABAT CANTIKA 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."