Dari Semarang ke Singkawang, Inilah Tradisi Menyambut Tahun Baru Imlek di Indonesia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Suasana Vihara Dharma Jaya Toasebio, Glodok, Jakarta Barat, menjelang Tahun Baru Imlek 2025 saat dikunjungi, Sabtu, 25 Januari 2025. Tempo/Annisa Febiola

Suasana Vihara Dharma Jaya Toasebio, Glodok, Jakarta Barat, menjelang Tahun Baru Imlek 2025 saat dikunjungi, Sabtu, 25 Januari 2025. Tempo/Annisa Febiola

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Perayaan tahun baru Imlek dimeriahkan dengan beragam tradisi unik di berbagai daerah. Banyak dari tradisi ini sudah menyatu dengan budaya lokal. Jadi, tidak hanya masyarakat Tionghoa yang menyambut Imlek, masyarakat dari suku lain juga ikut memeriahkan pergantian tahun. 

Berikut tradisi menyambut Tahun Baru Imlek yang ada di beberapa daerah di Indonesia.

1. Tuk Panjang di Semarang

Di Semarang ada kebiasaan unik yang dilakukan untuk menyambut tahun baru Imlek, salah satunya Tuk Panjang, tradisi menyajikan berbagai hidangan di atas meja sepanjang 200 meter. Makanan yang disajikan mulai dari kue keranjang, nasi hainan, hingga tujuh jenis sayur yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Jamuan ini diselenggarakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Pecinan Semarang untuk warga di luar Pecinan. Tradisi tersebut mencerminkan akulturasi budaya sebagai simbol toleransi dan kerukunan umat beragama.

2. Cian Cui di Kepulauan Meranti

Perang air atau dalam bahasa Hokkien disebut cian cui adalah sebuah tradisi saling menyiram air yang ada di Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Riau. Acara ini tidak hanya diikuti oleh etnis Tionghoa, tapi masyarakat dari suku lain seperti Melayu, Jawa, dan Minang.

Festival perang ini digelar selama enam hari dari ditandainya Tahun Baru China yang dimulai dari pukul 4 hingga 6 sore. Sekilas, cian cui mirip dengan tradisi Songkran di Thailand. Tradisi ini sudah dijadikan objek wisata dan setiap tahunnya kedatangan wisatawan mancanegara, seperti dari Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Thailand.

3. Grebeg Sudiro di Solo

Dalam menyambut Tahun Baru Imlek, masyarkat keturunan Tionghoa bersama suku Jawa di Solo rutin menyelenggarakan festival tradisional yang dikenal dengan nama Grebeg Sudiro di Pasar Gede. Secara harfiah, kata "grebeg" merujuk pada perayaan rutin sebagai ucapan syukur. Sedangkan "Sudiro" diambil dari nama Kampung Sudiroprajan yang berada di dekat Pasar Gede.

Festival ini identik dengan pawai gunungan yang menumpuk berbagai macam buah, sayuran, dan kue. Makanan-makanan tersebut akan diperebutkan oleh peserta. Dalam ajaran suku Jawa ada ungkapan “ora babah, ora mamah" yang berarti "tidak ada makanan yang didapatkan tanpa kerja keras."

4. Mandi di 7 lubang sumur, Depok

Kebiasan mandi di tujuh lubang sumur saat tahun baru Imlek ada di Vihara Gayatri, Kecamatan Tapos, Kota Depok. Kegiatan mandi tersebut dilakukan oleh etnis Tionghoa setelah beribadah. Ketujuh lubang sumur itu dipercaya bisa mendatangkan khasiat, rezeki, dan jodoh. Bukan keturunan Tionghoa saja yang mandi di sini, orang luar yang percaya dengan tujuh sumur tersebut akan ikut mandi di tempat itu. Setelah selesai mandi, pengunjung akan melempar koin ke sumur yang diyakini oleh masing-masing bisa mendatangkan khasiat.

5. Pawai Tatung di Singkawang

Pawai tatung adalah atraksi tradisi Tionghoa yang diakulturasikan dengan budaya Dayak di Singkawang, Kalimantan Barat. Dalam Bahasa Hakka, tatung artinya orang yang dirasuki roh, dewa, dan leluhur. Saat pawai dimulai, peserta akan mengalami kejadian yang membuat tubuhnya kebal akan benda tajam, api, dan segala sesuatu yang berbahaya. Atraksi yang ditunjukan tatung mirip dengan debus, menginjak pedang, hinga menusuk badan dengan benda tajam. Pawai ini digelar saat festival Cap Go Meh di hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek.

Pilihan Editor: Sambut Tahun Baru Imlek 2025, Solo Berhias dengan Ribuan Lampion Warna-warni

NIA NUR FADILLAH | MILA NOVITA 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."